
Belum lagi Nasi Timbel, Batagor, Kupat Tahu, Pecel Lele, Masakan Padang, Mie Aceh, Tumis Cumi, Asin Cabe Hijau, dan nama-nama masakan yang pastinya segera memicu produksi air liur mendadak di dalam mulut anda, semuanya ada.

Eh, ada satu yang belum bisa kutemukan di sini. Nasi Tutug Oncom. Tapi tidak apa-apa, pertemuan dengannya selalu istimewa karena hanya setahun sekali.
Percaya ngga kalau ada orang yang tidak kuat merantau, dan menyerah pulang lagi ke kampung halaman hanya karena masalah makanan?

Ternyata makanan dan selera makan bisa menjadi faktor pembeda yang sangat kuat untuk seseorang. Untuk beberapa orang, urusan perut ini mungkin adalah yang paling penting.
Orang yang paling susah ketika merantau adalah orang yang sangat pemilih di dalam urusan makanan.

Jangankan berbeda negara, berbeda kota di dalam satu provinsi saja bisa menjadi masalah.
Memilih makanan seperti memilih jodoh saja. Hehehe.
Masalah ini aku alami sendiri ketika pertama kali merantau ke Cilegon.
Culture shock pertama ketika merantau biasanya diawali dengan makanan. Bukan hanya jenisnya, tapi kebiasaan juga.

Aku tergolong “pemakan segala”, tapi sempat kaget juga ketika pertama kali merantau dari Bandung ke Cilegon. Ada beberapa cita rasa kuliner dan gaya yang sangat berbeda dengan kuliner di Bandung.
Di Cilegon atau daerah banten pada umumnya, Bubur Ayam hampir selalu bersanding dengan kata “Cirebon”.

Walaupun sama-sama bubur ayam, aku sempat terkaget-kaget ketika tahu ternyata di Cilegon bubur ayamnya diberi kuah kuning. Penjualnya pun tidak hanya roda gerobak dorong, tapi ada yang berkeliling dengan sepeda ontel.
Di Cilegon juga aku berkenalan dengan Mie Bakso dengan variasi diberi lontong. Tidak ada Mie Kocok atau Mie Yamin di Cilegon.
Di Bandung aku hampir tidak pernah makan dengan memakai garpu, bahkan sendok pun hanya untuk makan yang berkuah saja.

Di kantin pabriklah aku berkenalan dengan gaya makan menggunakan sendok dan garpu seperti di film-film kerajaan atau opera sabun di TV.
Tapi, kalau masih di Indonesia sih pastinya ada kuliner yang pasti masuk ke lidah semua orang, yaitu masakan Minang. Atau lebih viralnya “Nasi Padang”.
Alhamdulillah, selama enam setengah tahun di Cilegon, aku bisa beradaptasi dengan luwes dan sama sekali tidak ada kendala dengan kuliner setempat.
Culinary shock yang kedua tentunya ketika perantauan aku sekarang di Qatar.

Makanan pertama yang aku rasakan di hotel adalah menu masakan India. Chicken Curry dan Nasi Biryani.
Rasa sih masih sesuai dengan lidah Indonesia aku, karena kuliner India penuh dengan rempah-rempah. Sangat kaya dengan rasa, warna dan aroma.
Yang membuat kaget adalah porsinya.
Kalau ditakar nasinya mungkin bisa dua porsi normal.
Apalagi kalau makan di tempat, si mas-mas penunggunya tiap dua menit akan berkeliling di dalam restoran untuk menawarkan: “rice, more rice?”
Kalau di kantin pabrik lebih beragam lagi.
Setiap makan siang kita akan disuguhi tiga macam menu masakan.
Menunya lengkap Arabic, India dan Filipina sampai Indonesia.
Untuk petualang rasa seperti aku, itu adalah kesempatan emas untuk mencicipi kuliner dari negara lain. Di Qatar pula aku mulai mengenal salad dressing seperti Italian Dressing, 1000 Island dan Ranch Dressing.
Dan di kantin tempatku bekerja ada senjata pamungkas.
Ternyata ada chef orang Indonesia.
Jadi satu minggu sekali ada menu masakan Indonesia seperti rendang.
Di luar kantin, pilihan menu kuliner jauh lebih beragam.
Dari restoran dengan Steak dan Burger a la Amerika, atau Pizza Pasta a la Italia, sampai menu-menu mediterian dari Yunani, Spanyol dan Portugal.
Aku bisa mencicipi dan menikmati berbagai citarasa dari hampir seluruh penjuru dunia tanpa harus harus keliling dunia.
Ketika kamu meutuskan untuk merantau, siapkanlah indra perasa dan perut untuk diisi berbagai macam cita rasa makanan.
Jangan ngoyo dengan makanan yang itu-itu saja.
Kamu harus berani mencicipi makanan-makanan baru.
Kecuali kamu bisa tahan dan tidak bosan dengan setiap memasak mie instan dan nasi goreng. Atau mengandalkan acara-acara pertemuan komunitas orang Indonesia untuk bisa merasakan kembali masakan Indonesia.
Menyesuaikan diri dan selera dengan makanan baru awal dari adaptasi dengan hal-hal yang penting lainnya.

Jadi secepat mungkin coret “adaptasi makanan”dari daftar calon masalah kamu di perantauan.
Sejauh apapun kita merantau dari tanah kelahiran kita, jangan pernah merasa tidak betah atau bosan.
Karena pasti selalu ada cara untuk beradaptasi, selalu ada mitigasi, agar diri tidak menangisi rasa rindu kepada tanah Ibu Pertiwi.
Di mana langit dijunjung, di situlah Jengkol berada.
Hidup Jengkol!
