Kali berikutnya saat saya SMA. Saya saat itu menjadi penggemar berat Iwan Fals. Sebenarnya sejak SMP sudah mulai tapi bertambah-tambah saat sudah jadi remaja. Pada saat saya sekolah di kelas 2 atau tepatnya setelah kenaikan kelas dan saya harusnya di kelas 3, saya malah kabur dari rumah. Saya tidak betah tinggal di rumah kak Dahlan (dari lain ibu), tepatnya saat itu saya begitu labil dan memilih berheti sekolah dan pergi ke mana saja. Saya sempat melakukannya beberapa bulan sampai akhirnya saya memutuskan meninggalkan tanah Jawa dan pergi ke Sulawesi, pulang kampung.

Itu sekitar tahun 1991 atau 1992, saat umurku 19 tahun. Saat saya sedang menggandrungi membaca kisah-kisah petualangan Gol A Gong dan Itu usia yang membara. Saya merasa gagah sekali dengan kemeja flanel, celana jeans, sepatu gunung, tas ransel biru, rokok kretek, dan sebotol brendy berdiri di dek 7 kapal Pelni. Saya mengobrol dengan siapa saja, bercerita tentang hidup yang sulit di masa lalu dan saat ini serta harapan lebih baik di masa depan. Saya tak peduli meninggalkan sekolah saat itu. Saya merasa punya kemampuan menulis dan tak berharap banyak bisa melanjutkan sekolah. Saya ingin menjadi pengelana sekaligus pengarang. Persis seperti Roy pada Balada si Roy. Sayangnya keduanya tidak terwujud, saya gagal menjadi pengelana, juga gagal jadi pengarang.

Saya tiba di Pinrang, kampung halaman saya, tempat saya lahir, tumbuh kecil dan bermain-main dengan kawan-kawan sepantaran. Mereka semua, saat itu, nyaris tak ada di kampung. Mereka rupanya satu persatu telah pergi juga. Hanya beberapa saja yang tinggal, masih sekolah atau bahkan berhenti sekolah dan larut dalam kenakalan remaja.

Saya yang kehilangan delapan tahun tanpa mereka, gamang untuk turut bersama mereka. Saya memilih ke Mamasa, wilayah pegunungan yang dingin dan penghasil kopi yang melimpah. Saat itu, sepupu-sepupu saya, yang berhenti atau sudah tamat bersekolah pergi ke sana dan berdagang keliling dari desa ke desa. Saya memilih ke sana. Tak ada harapan tinggal di Pinrang. Lagi pula, di Mamasa ada kakak saya, Basri (lain bapak) yang dulu, saat saya masih belum sekolah, dia merantau ke Poso, Sulawesi Tengah. Ia ke sana dengan motor trailnya sekitar tahun 1982. Dua tahun sebelum saya dibawa ke Jakarta oleh Kak Dahlan.

Saya hidup dan merasakan kemandirian selama di Mamasa. Saya menikmati hidup dengan berdagang dan hidup dengan para pedagang Bugis. Tak terasa itu berlangsung selama dua tahun dan kakak saya mengingatkan untuk kembali menyelesaikan sekolah. Kebetulan, saat itu, kakak saya yang lain, Syukri (satu bapak satu ibu) sudah merantau ke jakarta dan sudah bekerja. Saya bisa tinggal bersamanya jika tidak ingin kembali ke rumah Dahlan. Saya berpikir.

Awalnya saya menolak kembali. Saya punya pacar di Wono. Dia pacar pertama saya. Saya rasa dia cinta pertama saya. Saat di Jakarta saya menyukai satu dua perempuan teman sekelas, tapi tak sepenuhnya merasakan getaran cinta itu. Saya ingin memutuskan tinggal dan menjadi pedagang saja. Tapi pacar saya bilang, dia akan lanjut kuliah di Makassar nanti. Saya lalu memutuskan harus pulang dan menyelesaikan SMA. Saya pun kembali ke Jakarta, meninggalkan kenyamanan sebagai pedagang, orang muda dengan uang hasil keringat sendiri, nonton film Mandarin setiap malam minggu di Wono, makan burasa begadang, main bilyar sesekali, bersepeda Mustang, dll setelah 6 hari keliling ke enam desa. >>> ke halaman berikutnya

Please follow and like us:
error56
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia