Lato-lato bagai virus yang mudah menyebar. Perlombaan lato-lato telah diselenggarakan di mana-mana, bahkan ada yang menyelenggarakannya di mal. Aturan lombanya sangat simpel sekali, siapa yang lama memainkannya maka dia yang menang.
Dengan boomingnya lato-lato harganya meningkat tajam. Dari 7 ribu menjadi 20 ribu. Mainan berbentuk dua bola yang beradu ini sangat meresahkan masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Teman-teman saya yang berada di Serang mengabarkan bahwa setiap pagi dan sore anak-anak selalu memainkan lato-lato. Sungguh, itu sangat mengganggu pendengaran dan membuat muak sekali.
Beruntung, di Kampung Inggris Pare Kediri, anak-anaknya mudah diarahkan dan bisa diatur oleh orang tua. Sehingga, hanya ada beberapa orang saja yang memainkannya dan itu ada di waktu-waktu tertentu. Anak-anak di sini banyak menghabiskan waktu untuk belajar ketimbang main lato-lato.

Pro Kontra Lato-lato
Semua mainan barangkali memiliki nilai positif dan negatif. Di media sosial banyak sekali yang berdebat bahwa lato-lato sangat mengganggu karena dimainkan setiap hari. Di lain sisi, ada juga yang mengatakan bahwa main lato-lato lebih baik dari pada seharian main handphone.
Semuanya saya setuju dengan pendapat tadi. Memang lato-lato sangatlah mengganggu pendengaran, tetapi anak-anak lebih bagus kalau jauh dari handphone untuk beberapa saat. Apalagi handphone itu mengganggu emosional anak.

Bukan cuma anak-anak yang terganggu emosionalnya saat memainkan game handphone, terkadang orang dewasa pun bisa rusak oleh handphone. Saya banyak menemukan orang-orang yang main game terus-menerus mengeluarkan kata-kata kotor dan itu sangatlah tidak baik.

Lato-lato tidak demikian. Lato-lato justru dapat mengasah sistem motorik anak karena konsentrasi. Namun, lagi-lagi ini harus diawasi oleh orang tua. Pasalnya, jika main lato-lato mengabiskan waktu yang banyak tentu itu juga tidak baik.
Sangat disayangkan menang, banyak orang tua anak lebih suka mengasuh dengan cara kambing. Asal diam dan tidak nangis itu sudah bagus. Kalau lapar dikasih makan. Sungguh, itu sangat tidak baik pula untuk perkembangan anak. Barangkali, kita masih belum memahami apa itu literasi keluarga.*
*) Foto-foto internet

