Pertanyaannya, apakah gagasan yang muncul dari masyarakat tidak penting? Atau, media massa itung-itungan soal pembayaran honorarium bagi penulis? Alah, jika urusannya honor bagi penulis, media massa harusnya sadar bahwa ia mengambil lebih banyak dari masyarakat. Bukankah, dana pemerintah yang nyatanya diambil dari rakyat ikut membiayai keberlangsungan media massa lewat biaya promosi (iklan).
Pertanyaan mahasiswa tersebut akhirnya saya jawab bahwa ruang gagasan di koran lokal yang masih memuat setahu saya Kabar Banten dan Banten Pos. Selebihnya, sudah menutup kolomnya kecuali ada lembaga yang mengajak kerja sama dengan media massa tersebut.
Jadi, secara tidak langsung saya katakan, di kota ini media massa tidak apresiatif pada ruang gagasan. Gagasan tak mendapat tempat yang layak. Padahal, jika sebuah kota ingin maju harusnya mendorong banyak gagasan untuk lahir. Untuk dituliskan.
Sebaliknya yang terjadi, di kota ini banyaknya kepentingan atas nama pribadi dan kelompok, wajar setiap hari berita di koran, dari website, di beranda FB yang muncul bukan kebaikan dan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, akan tetapi lebih ke hal-hal negatif.
Hal negatif ini tidak saja dalam keadaan genting akibat pandemi, pada perhelatan hari bahagia seperti ulang tahun selalu diwarnai informasi-informasi kekerasan: biasanya ribut antara pendemo dengan penegak hukum.
Atau, jangan-jangan kota ini memang dari dulu memilih jalan perayaan ulang tahunnya dengan kekerasan. Anggap saja ini bagian dari hiburan, bagian dari pengisi acara gratisan. Jika kegiatan seperti ini yang diharapkan, mengerikan.
Saya akhirnya menyarankan ke mahasiswa tersebut untuk ikut dalam barisan itu. “Lebih baik ikut dalam barisan kekerasan. Karena, kota ini lebih meminta hal demikian dibanding harus mendorong generasi mudanya untuk berekspresi lewat gagasan dan tulisan.” Mendengar saya ngomong, mahasiswa itu tertawa. (*)