Dalam hati saya berkata, orang yang bergerak di dunia kebudayaan kok jauh dangan nilai-nilai yang diusung oleh arti kebudayaannya itu sendiri. Tak tampak pribadi yang terbuka. Tak tampak pribadi yang saling menghargai.
Tidak sampai di situ, tiba-tiba saja kegiatan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari itu dibatalkan sepihak menuju hari H. Padahal, surat resmi kerja sama peminjaman tempat Rumah Dunia sudah dilayangkan jauh-jauh hari. Tak ada alasan konkret. Ketika saya kirim pesan lewat wa, “Pak, kira-kira datang pukul berapa ke Rumah Dunia Dunia?” Pesan saya hanya dijawab, “Tidak jadi.”
Mendapati pesan balasan kata tidak jadi, saya bingung dan langsung saya telepon berkali-kali untuk memastikan kenapa hal itu tidak jadi? Tapi, telepon saya tidak diangkat, pesan wa saya tak dibalas. Sesudahnya, tiga jam kemudian barulah surat resmi, tanpa nomor surat dan tanpa tanggal dikirimkan lewat pesan wa dari nomor baru.
Lagi-lagi, saya katakan tidak etis. Tidak elegan buat orang yang bergerak di dunia kebudayaan. Saya berharap pembatalan itu harusnya dijelaskan dengan baik sebelumnya, supaya kami juga ikut memahami dan memaklumi atas pembatalan tersebut, bukan sebaliknya saya harus sibuk telepon ke sana kemari.
Apakah mereka tidak menganggap, atau menafikan usaha yang sudah saya dan relawan Rumah Dunia lakukan untuk kegiatan mereka? Tentu tidak hanya tenaga yang sudah dikeluarkan, yakni waktu dan materi. Tapi bagi mereka seolah-olah itu tidak penting.
Jika perilaku kepemimpinan seperti ini terus mengisi lembaga-lembaga pemerintahan terutama lembaga kebudayaan hari ini, saya menyakini sulit rasanya dunia kebudayaan kita bisa maju. Sulit rasanya budaya kita bisa bersaing dengan negara lain.
Presiden Jokowi dalam pembukaan Rakornas Pengawasan Pemerintah, 14 Juni 2023 di kantor Badan Pengawasan dan Keuangan (BPKP) Jakarta Timur, mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan pemerintahan jarang tepat sasaran alias tidak optimal, karena yang lebih diutamakan bukan esensi, tapi seremoni.
Jika kepala Lembaga Balai Media Kebudayaan mampu melihat dengan visioner, ia harusnya mendukung jika pilihan tempatnya di Rumah Dunia. Karena, dari banyaknya komunitas literasi dan budaya, Rumah Dunia sudah mampu konsisten 25 tahun membatu kerja-kerja negara dalam hal sastra dan budaya. Ini harusnya menjadi pijakan untuk sama-sama memajukan kebudayaan.
Lagi-lagi yang terjadi seperti kutipan pesan wa terakhir di bawah ini dari tim Balai Media Kebudayaan Indonesia, “Maaf, kang. Saya tidak enak hati sama Kang Salam. Tapi ini permintaan bos. Kata bos direktur mau datang. Sekali lagi saya minta maaf karena acara akhirnya dipindahkan ke hotel.” (*)