“Tak ada yang berkurang jika kaumau membaca tumpukan koran yang kubawa,” katanya dengan mata masih sibuk membaca deretan kata pada koran yang digelarnya.
“Makasih, Pak.”
“Di Serang, sulit sekali mencari koran,” katanya sambil meletakkan koran yang sedang dibacanya. Sejenak kemudian, ia meneruskan kata-katanya, “Saya mencari koran mulai keluar Tol Serang Timur sampai arah ke Cilegon, tapi tak satupun menemukan tukang loper. Di jalan ada sih yang jual, tapi koran-korannya tak lengkap.”
“Itulah kelebihan kota Serang, Pak. Masyarakat di sini ada dan tidak adanya penjual koran tak ada ruginya, begitupun dengan pemerintahnya. Pemerintah tak pernah merasa cemas jika masyarakatnya tak memiliki minat baca. Sebaliknya, mereka akan senang jika masyarakatnya tidak berkembang,” kataku sambil membuka-buka koran yang menumpuk di meja.
“Kaucukup berlebihan, mana mungkin pemerintah bahagia melihat masyarakatnya tidak berkembang.”
“Maaf, Pak. Sebelumnya boleh saya tahu Bapak dari mana?
“Saya dari Bandung. Di Lembang. Tetapi, dalam waktu cepat saya bisa pindah-pindah daerah dan negara. Hari ini, tak sengaja saya harus mampir ke Serang untuk mengantarkan istri saya. Sambil lewat, saya lihat tempat ini (Remdezvous.red). Di sini ada kopi. Saya pengen coba kopinya sambil nunggu istri. Setelah istri selesai mengisi acara beberapa jam ke depan saya harus pulang lagi ke Jakarta. Besok rencana ke Jogja dan Bali.”
“Wah keren banget, Pak.”
“Jangan terpukau seperti itu. Memang hanya kegiatan inilah yang bisa saya lakukan di usia tua. Kalau harus jujur, saya tak terlalu bahagia dengan kegiatan ini. Walaupun, banyak orang tentunya menginginkan jalan-jalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Bukan mau sombong, tetapi saya hanya memberi tahu saja.”
Bapak itu kembali mengambil koran dan membacanya. Aku diam sejenak, sambil terus merenungi apa yang bapak itu katakan dan ceritakan.(*)