Buku ini akan menyuguhkan hal-hal yang belum kita ketahui dari kota dengan ikon Hotel Ryugyong -sebuah bangunan tertinggi yang ada di Korea Utara sekaligus Pyongyang. Semisal, bagaimana kita memotret di Pyongyang (yang sebenarnya warganya ataupun bangunannya tidak boleh dipotret dengan berbagai alasan, misalnya tidak cantik atau apapun itu).
Satu hal yang menarik, kalau memotret pemimpin Korea Utara, Kim Il-Sung jangan dipotong-potong, harus secara keseluruhan. Selain itu, kita juga akan mengetahui hubungan kita dengan Negeri rudal itu, mulai dari anggrek Kimilsungia, film Arini, dan buku-buku terbitan Indonesia yang ada di Perpustakaan Pyongyang maupun di Keumsoosan.
Sebenarnya, menurut penulis, sebagai tambahan, hubungan Korea Utara dengan Indonesia mulai dibangun pada 1960 melalui program pertukaran pelajar yang diselenggarakan Liga Pemuda Korea (yang salah satunya ada Opa Gatot Wilotikto).
Kemudian, kita akan melihat bagaimana di negeri Juche ini ada lampu kristal yang menarik mata bila kita bertandang ke Stasiun Pyongyang, lengkap dengan muralnya. Jika dibuka untuk wisatawan umum, bisa saja stasiun kereta bawah tanah ini mirip seperti yang ada di Rusia atau beberapa negara lainnya.
Dan, di Korea Utara sendiri, percaya atau tidak, negara ini masih menganggap Jepang sebagai laten berbahaya, mengingat penjajahan yang dilakukan Jepang selama hampir tigapuluh lima tahun (1910-1945). Oh, pantas saja, ada penculikan warga Jepang yang terjadi antara tahun 1977 dan 1978, yang korbannya adalah Megumi Yokota atau ada juga yang dijadikan mata-mata Korea Utara dan belakangan di tahun 1988 melakukan sabotase terhadap Korean Air.
Tidak kalah menarik, bagaimana Korea Utara bisa menjadi negara dimana ada pembayaran dengan bentuk kupon, orang-orang yang mengarit rumput untuk selanjutnya dimakan, barang-barang yang berbau propaganda (buku, komik, kaset musik, dan kemungkinan lukisan).
Nah, kalau ingin tahu mengapa Korea Utara kebanyakan menganggap Kim Il-Sung dan Kim Jong-il sebagai dewa? Ceritanya begini, warga Korea (sebelum pecah menjadi dua Korea), mereka dijajah oleh Jepang. Mereka berdoa terus menerus untuk meminta perubahan (padahal, berdoa itu dibarengi dengan usaha, bukankah begitu?).
Nah, tetapi karena tak ada perubahan, mereka putus asa. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kim Il-Sung bahwa perubahan itu harus pakai usaha. Disitulah mereka percaya kekuatan manusia.
Jalanan di Pyongyang pun kita akan kaget, lengang. Mengapa? Tidak banyak mobil yang melintas seperti di Jakarta, Bandung, atau di kota-kota lainnya. Maklum, mobil hanya diperuntukkan untuk pejabat pemerintahan ataupun Donju (konglomerat Korea Utara), dan makanya anak-anak bisa bermain di jalanan.
Di Korea Utara, mereka mempunyai studio film ala Barat dan juga Korea (ada pula yang Jepang, bisa dilihat huruf Katakananya). Kalau main ke hotel-hotel di Pyongyang, katakanlah di Yanggakdo, bila menonton televisi, kanalnya hanya kanal CCTV (Tiongkok), maupun kanal televisi milik pemerintah Korut. Jadi, jangan berharap ada kanal-kanal semacam CNBC, Al Jazeera, CNN, TV5 Monde, HBO, maupun sebangsanya.
Gaya rambut dan berpakaian, kebebasan kesenian berkarya pun segala-galanya diatur oleh pemerintah Korut (padahal, mereka juga punya hak dan selera masing-masing).
Oke, kita akan mendengar maupun menyimak kasus yang ada di Korea Utara. Misalnya, pematung-pematung maupun perupa membuat diorama mereka di Mesir, yang setelah pulang dari negeri Piramida itu dituliskan segala “dosa-dosa” karena menikmati kapitalis (katanya).
Juga pemain sepakbola Korea Utara yang harus dihukum kerja paksa karena mabuk-mabukan setelah pertandingan di Piala Dunia 1966.
Sebenarnya masih banyak, bagaimana jalannya Festival Film Pyongyang itu (mulai dari film yang bertemakan sejarah, maupun animasi kita yang bertemakan legenda semacam Lutung Kasarung, dan lain sebagainya).
Mungkin agak panjang, tetapi inilah gambaran dari perjalanan sehari melalui bacaan “Jejak Mata Pyongyang”. Ini akan membuka mata kita tentang sebuah kota yang bernama Pyongyang. Dan, di masa ini, penduduk setempat ada pula yang membocorkan keadaan Korea Utara secara diam-diam pada Radio Free Asia (RFA), yang sering kita lihat kutipannya di laman CNN Indonesia. Mulai dari kelaparan, kemuakan terhadap putri Kim Jong-un, dan paling parah meningkatnya angka perceraian di Pyongyang dan Korea Utara.
Judul : Jejak Mata Pyongyang
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Muffin Graphics (PT. Mizan Pustaka)
Tahun Terbit : 2015 (cetakan pertama)
Tebal Buku : 156 Halaman
Kulit buku : soft cover
*) Majalaya-Bandung, Maret 2024
Tentang Penulis: Hanz Christian Hutahaean lahir di Bandung, 2001. Merupakan seorang awam yang menyukai buku maupun hal-hal yang berbau kebudayaan, sejarah, dan politik serta filsafat. Dan bercita-cita menjadi seorang penulis, penerjemah, sejarawan, pengusaha, dan pengembang bahasa asing yang belum banyak dipelajari orang.
RAK BUKU: Rak Buku adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 700 karakter. Honor Rp. 100 ribu. Terbit setiap hari Jum’at, 2 mingguan bergiliran dengan resensi film di Layar Bioskop. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA dan rekening bank, beberapa foto cover buku, juga penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.