Saya juga ingin kembali ke zaman asyik masyuk itu. Tapi tentu tidak mungkin lagi. Usia akan terus beranjak, hingga ke ujung, sampai ke batasnya, sesuai jatah yang sudah diberikan Tuhan.
Tentang puasa, apa yang saya ingat di masa kecil itu? Bapak sepulang kerja sering membawa pulang timun Suri. Timun khas Aceh. Kebetulan sewaktu kecil saya dibawa Bapak merantau ke Aceh. Di sana kami tinggal hingga Bapak berpulang menjelang saya menamatkan SMA.
“Ini timun Suri, antarkan ke dapur. Suruh Ibu bikin minuman untuk berbuka puasa,” seru Bapak sebelum ia memasukkan sepeda ontel tuanya ke bilik rumah kontrakan kami yang sempit.
Timun itu berbungkus pelepah pisang. Khas kemasannya. Juga aromanya. Saya gembira sekali. Menu berbuka puasa yang sering menerbitkan air liur.
Bergegas saya menyambut timun Aceh itu. Buahnya besar dan segar. Sebesar badan pepaya jumbo. Warna kulitnya hijau kekuningan.
Ibu sangat pandai meracik buah timun itu. Ibu mengorek isinya pakai sendok, kemudian ia masukkan ke dalam ceret plastik. Agar lezat, dicampurnya sirup, lalu dimintanya saya membeli es batu ke warung. Timun, sirup, es batu, bercampur jadi satu.
Ketika minuman itu sudah terhidang, dan beberapa menit menjelang berbuka puasa, saya duduk mentafakuri gelas berisi timun di meja kayu usang. Kedua tangan saya berpangku di bibir meja, sementara wajah dengan kedua bola mata tak lepas melihat hidangan. Jakun sudah tentu turun naik dengan air liur yang menumpuk di mulut.
Menit-menit menjelang berbuka itu, menjadi momen paling saya tunggu-tunggu. Tapi, beduk belum juga dipukul bilal di surau, dan menit terasa sejam-dua jam lamanya. Lambat benar waktu berjalan.
Sebentar-sebentar saya melihat jarum jam dinding berjambul yang setiap waktu berdentang. Ketika beduk sudah benar-benar berbunyi di surau, saya melompat menyambar gelas berisi timun Aceh itu. Sekali dua kali teguk, habis minuman itu melewati kerongkongan, terus masuk ke lambung yang siap menampung makanan apa saja. Sesudah kenyang, terbit sendawa. “Uwwoookkk….!”
Kalau melihat perangai saya itu, Bapak dan Ibu hanya dapat geleng-geleng kepala saja.
“Tak baik kau makan minum terburu-buru. Pelan-pelanlah. Tersedak kau nanti,” nasihat Ibu. Saya mengangguk, tapi besok saya ulangi lagi perangai itu.
Setelah tahun-tahun paling membahagiakan itu berlalu, dan ketika Bapak sudah pergi pula ke alam baka, tak balik-balik lagi ke dunia, barulah kembali terkenang di benak saya tentang kebahagiaan masa kecil yang tak dapat diulangi lagi. Suasana perkampungan yang permai, damai, rumah di tengah sawah yang di anak-anak airnya banyak ikan lele dan belut, serta kawan-kawan masa kecil yang lucu dan selalu bergembira, tak dapat terlupakan sepanjang waktu. Zaman yang tak pernah tergantikan, tak akan datang lagi kedua kali.
Saya ingat bagaimana Bapak mengayuh sepeda ontelnya belasan kilometer ke kota hanya untuk membeli timun Aceh, semata untuk membujuk agar saya mau berpuasa penuh, tak boleh bolong-bolong.
“Kau sembahyang bisa dilihat orang, tapi puasa, hanya kau dan Allah yang tahu. Jujurlah, jangan sekali-kali kautinggalkan yang wajib jika masanya sudah tiba,” nasihat Bapak setiap kali Ramadan datang.
Setiap mengingat kata-kata Bapak, saya tercenung. Seolah Bapak berdiri di samping saya, menepuk-nepuk pundak saya. Tapi itu halusinasi saya saja, karena lelaki pilih tanding itu sudah tiada.
Allahummaghfirlahu warhamhu….
Puisi-puisi saya menjemput kembali beberapa kenangan di masa kecil itu, terutama di bulan puasa. Beberapa puisi yang lain saya sesuaikan dengan kondisi kekinian, salah satunya tentang Gaza yang masih menderita karena belum berhenti diserang Zionis. Saya membayangkan bagaimana rakyat Gaza berpuasa, sahur, berbuka, sementara hari-hari mereka penuh dengan ketakutan di bawah percikan api rudal-rudal yang bertebangan di atas kepala.
Semoga puisi-puisi ini menjemput kenangan bagi sebagian pembaca yang barangkali juga punya pengalaman empirik yang sama, seperti apa yang saya rasakan, alami, juga saat segala yang diingat lesat dan lesap berkelindan di pikiran. Selamat menikmati. (*)