Aku nonton film “Ratapan Ibu Tiri” (1973) yang disutradarai Sandy Suwardi Hasan. Membekas sekali. Aku tidak yakin ada ibu tiri sekejam itu. Tapi cerita lisan yang beredar di masyarakat seperti itu. Cinderella, begitu. Bawan Merah Bawang putih juga begitu. Pesan yang aku terima adalah: sesama saudara harus saling menyayangi wlaupun ibumu kejam ke saudara tirimu.

Akhirnya aku terdorong membuat versi audionya. Naskah dan produksinya sendiri saja. Kamar aku jadikan studio. Untuk sound effect saya bawa panci, gelas, sendok, dan perkakas dapur lainnya. Di pintu kamar saya tempel kertas dengan tulisan: jangan ribut, sedang rekaman.

Bapak membelikanku radio tape recorder. Itu sebetulnya untuk kakak dan 3 adikku juga. Tapi aku diperbolehkan mendominasi jika hendak rekaman sandiwara radio. Semua mendukung. Dari sanalah aku mulai bergembira memasuki dunia kreativitas.

Di Kota Serang yang kecil, yang sebetulnya tidak mendukung dunia kreativitas (dunia pondok pesantren yang trend), aku berproses sendiri. Di rumah ada perpustakaan mini. Juga ada 2 bioskop. Hampir setiap hari aku berkunjung ke 2 bioskop itu – Pelita di Pasar Lama dan Merdeka di Royal. Membacai poster-poster film yang dipasang di lobby bioskop, rasanya asik sekali. Imajinasiku mengembara ke mana-mana.

Aku kecil sering mengkhayal keliling dunia sekaligus membuat cerita. Aku jadi sering memperhatikan sekeliling. Aku jadi sering nongkrong di jalanan, di pasar, di stasiun, di terminal. Aku senang berinteraksi dengan oranng-orang. Senang bertanya kepada orang-orang.

Aku pikir itu adalah proses kreatifku. Setelah di SMA, membaca buku-buku tentang jurnalistik dan cara menulis, aku jadi tahu bahwa yang kulakukan itu adalah sejenis “field research” (riset lapangan). Tanpa sadar, dengan cara banyak bertanya, berinteraksi, aku sedang berlatih menemukan ide. Aku jadi senang dengan fenomena.

Membuat sandiwara radio, aku pikir, itu adalah hasil dari membaca fenomena saat itu, yang selalu membicarakan tentang kejamnya ibu tiri. Kata Emak, aku gelisah setiap hari. Akhirnya aku membuat sandiwara radio. Cerita Emak lagi, kaset sandiwara radioku beredar di guru-guru SD, tetangga-tetangga, dan entah ke mana, tidak pernah kembali. Aku hanya sering mendapat pujian, “Ibu sudah denger sandiwara radionya. Sedih. Ibu nangis.”

Gol A Gong

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia