Oh, dari deskripsinya yang tercetak di plakat dinding yang sama—tapi lebih dekat ke pangkal jembatan—saya jadi tahu kalau puisi itu dipetik dari epos I La Galigo. Saya terenyak. Bagaimana bisa Indonesia langsung menyala pada kunjungan pertama saya di kota yang tenang ini.

“Saya tidak tahu,” jawab Mario, seorang mahasiswa Belanda yang kebetulan sedang menunggu temannya di pangkal jembatan, tempat saya baru mengambil foto keterangan puisi tersebut. “Saya pikir itu bukan puisi. Saya pikir itu grafiti atau coret-coretan estetik bebas tafsir,” katanya lalu meminta maaf. “Saya tak bermaksud merendahkan puisi itu,” katanya seraya tersenyum sopan. “Bagaimana pendapatmu tentang kota ini? Tenang bukan?” Ia bertanya baik.

Ya, kota yang tenang. Saya sepakat. Tapi, sedih sekali ketika mahasiswa yang bolak-balik melewati kanal itu malah tak tahu kalau itu puisi, puisi Nusantara!

Perjalanan saya di hari berikutnya, menegaskan makna tenang ini. Setelah puas menyusuri Leiden yang kompleks karena—selain perpustakaan—rumah kaca, taman botani, dan berbagai kantin dengan standar rasa—dan harga—yang yahud, saya menyusuri kawasan permukiman di timur Witte Singel. 

Kawasan ini tidak ramai, juga tidak sepi. Orang-orang berjalan kaki dan bersepeda adalah pemandangan umum. 

Sebagaimana kawasan kampus, tak saya temukan orang-orang berpose dengan ponsel atau ngevlog di jalanan. “Ini bukan kota pelajar,” kata Judith, periset independen dari Arnheim. “Leiden adalah kota perpustakaan,” katanya menyakinkan. 

Begitu memasuki kelokan dari jalan sekunder, saya bertemu dengan Haverstraat. Tepat di dinding rumah tiga tingkat yang polos—yang juga menjadi dinding tempat tercetaknya nama jalan itu, puisi Serat Kalatidha atau dikenal Jaman Edan karya penyair legendaris Jawa, Raden Ngabhi Ranggawarsita (1802-1873).

Puisi yang ditulis tahun 1997 dalam abjad Hanacaraka ini diusulkan oleh Instituut Indonesische Cursussen (IIC) kepada Yayasan Tegen-Beeld dan akhirnya disetujui untuk dijadikan mural menghiasi Kota Leiden.

“Tidak,” kata Grego, mahasiswi Indonesia Leiden. “Saya memang dekat dengan puisi-puisi ini,” ia menunjuk dinding yang memuat puisi dalam bahasa Arab karya Adonis. “Tapi saya tak tahu, kalau ternyata ada karya-karya  puisi Indonesia di dinding-dinding Leiden,” katanya sebelum buru-buru mengoreksi, “Sepertinya saya pernah mendengarnya, tapi saya belum melihatnya langsung. Saya terlalu asik kuliah dan membaca di perpustakaan.”

***

Puisi Dinding (Belanda: Muurgedichten, kadang disebut pula Gedichten op muren atau Dicht op de Muur) adalah sebuah proyek yang melukiskan lebih dari 110 puisi dengan berbagai bahasa di dinding-dinding bangunan di Kota Leiden, Belanda. Bagi saya sendiri, kehadiran puisi-puisi ini bukan sekadar menegaskan Leiden adalah Kota Perpustakaan, melainkan Kota Puisi itu sendiri.  

“Iya,” kata Lilenko, mahasiswi Rusia tak sengaja saya ajak bicara di Albert Heijn ketika kami sama-sama membayar belanjaan kami di self-service machine. “Spot favorit saya dan teman-teman adalah ngopi di kanal utara,” lalu ia menyebut sebuah puisi dari penulis Timur Tengah yang ia lupa namanya—yang tercetak di dinding sebuah kafe—yang menjadi latar mereka membincangkan apa pun selepas kuliah di sana. “Tapi saya tidak tahu, yayasan apa yang menginisiasi proyek dinding-dinding romantis ini,” lalu kami tertawa. Sebelum kemudian dia sangat terkejut mendengar nama Yayasan Tegen-Beeld karena ia sendiri cukup familiar dengan dua seniman utama dalam proyek ini yaitu Ben Walenkamp dan Jan-Willem Bruins. “Selain itu,” kata saya bagai menjadi duta puisi untuk Leiden, “dana lain berasal dari beberapa perusahaan yang beroperasi di Kota Leiden.”

Tapi, yang juga cukup menarik adalah, proyek yang dimulai pada tahun 1992–dengan pelukisan puisi Moim Stikham karya penyair Rusia yaitu Marina Tsvetayeva—ini bukanlah (sekadar) proyek sastra, melainkan kerja seni rupa. Ya, setiap puisi, selain tampil dalam bahasa aslinya, juga “dilukis” dengan ciri khas kesenirupaan.

Hari sudah menunjukkan pukul lima tapi matahari bersinar seperti pukul 12. Ketika saya melihat panduan tersedia di Internet yang berisi tur menelusuri 25 dari 110 puisi bagi para wisatawan di Leiden, saya baru ngeh kalau matahari terbenam pukul 21.30 di sini. “Kamu tinggal di Witte Singel?” sapa seorang Belanda yang sering berpapasan dengan saya dalam perjalanan pulang dari perpustakaan.  “Ada sebuah puisi India di belakang halte,” beritahunya sebelum kemudian, seperti mau menganulir keingintahuannya, ia berkata, “Ah, tentu kamu pasti sudah tahu ya?”

Saya tersenyum lebar, dan mengangguk, “Tapi saya senang sekali karena kamu juga suka puisi.”

Tapi, respons menyedihkan justru saya dapatkan dari beberapa orang dan mahasiswa Indonesia di Kota Puisi itu sendiri. Tak banyak dari mereka yang tahu—atau pernah “menziarahi”—puisi Chairil Anwar dan Ronggowarsito. “Puisi dari I lA Galigo ini sendiri, kami ketahui, karena memang letaknya di belakang halte di seberang perpustakaan sehingga mudah tertangkap pandang, yaaa kami jadi tahu,” kata pemuda yang menolak saya sebutkan namanya. “Nanti saya akan cari (puisi) Chairil dan Warsito,” katanya seperti merasa bersalah.

Sore itu, untuk kali kedua dalam pekan pertama saya di Leiden, saya ke Rijndikkbuurt, tempat puisi “Aku” dilukis megah di dinding kediaman warga. Saya sebenarnya sedikit kecewa ketika mengetahui, letak puisi ini membuat tidak cukup mudah tertangkap pandang oleh pejalan kaki. Tapi, tak urung bulu kuduk saya meremang dengan hamparan bait:

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

….

Dua bulan di Leiden nanti, saya sudah membayangkan, betapa tenang dan puitiknya kota yang menyala karena perpustakaannya ini. Di sini, saya bukan hanya melihat arsip kebudayaan yang terawat, tapi juga menjadi saksi bagaimana sastra dirayakan. Dan tiga puisi Indonesia, hadir setara dengan karya-karya dunia. 

Ah, sebuah pengalaman yang membanggakan dan menggetarkan. Meski, saya tak tahu, seandainya saya adalah orang Indonesia yang lama di Leiden, apakah saya akan seantusias ini mencari tahu atau, sebagaimana jawaban yang lain, rutinitas hidup membuat saya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa I La Galigo, Ronggowarsito, atau Chairil yang “selalu lalu lalang” Witte Singel, Haverstraat, atau Rijndikkbuurt.(*)

Benny Arnas lahir, besar, dan berdikari d(ar)i Lubuklinggau. Telah menulis 31 buku. April-Juni 2024 ia melakukan residensi di Leiden, Belanda. Penerima Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2023 daru Perpustakaan Nasional RI.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia