
O. Henry mengajak untuk menjelajahi lanskap perkotaan Amerika awal abad ke-20, dari New York City, Los Angeles, Washington, hingga San Antonio di Texas. O. Henry – nama pena William Sydney Porter – menciptakan kisah-kisah dengan karakter-karakter yang khas, kaya akan ironi, serta pesan moral yang dalam.
Salah satu cerpen Henry yang memukau saya adalah cerpen “Helai Daun Terakhir” (The Last Leaf). Cerita ini mengisahkan dua orang sahabat, Johnsy dan Sue, dengan latar cerita sebuah distrik kecil di Washington Square.

Suatu ketika Johnsy diserang “makhluk asing dingin tak kasatmata yang disebut Pneumonia” (radang paru-paru). Johnsy merasa hidupnya akan berakhir bersamaan dengan rontoknya dedaunan tanaman rambat dari sebuah tembok bata di luar jendela apartemen mereka.
“Ketika helai daun terakhir gugur, aku juga harus pergi,” kata Johnsy kepada Sue.
Hlm. 81
Namun Sue tidak ingin menyerah kepada takdir kematian sahabatnya begitu saja. Bersama Behrman, pelukis tua yang ingin menciptakan mahakarya, mereka coba meyakinkan Johnsy tentang peluangnya untuk sembuh. Meskipun akhirnya Behrman sendiri meninggal karena Pneumonia, ia berhasil membangkitkan harapan Johnsy untuk hidup dengan melukis satu helai daun di tembok bata itu.
“…Lihatlah daun tanaman rambat terakhir pada tembok di luar jendela itu,” kata Sue. “Tidakkah kau bertanya-tanya mengapa daun itu tak pernah bergoyang atau bergerak ketika angin berembus? …itulah mahakarya Behrman, dia melukis daun itu di sana pada malam ketika helai daun terakhir gugur.”
Hlm. 87
Gambaran dedaunan gugur yang tiap helainya memberi tanda kematian bagi Johnsy, dan lukisan helai daun terakhir di tembok bata mahakarya si tua Behrman itu tidak hanya membangkitkan imajinasi, tapi sungguh “meninggalkan kesan yang sukar terlupakan” di benak saya.
Sebagai cerita ia menggugah, menawarkan kebijaksanaan dan makna yang dalam mengenai hubungan manusia. Juga tentang harapan, persahabatan yang tulus, dan pengorbanan.

Kepiawaian Henry membangun plot dengan karakter-karakter yang kuat dan twist ending yang seringkali mengejutkan menjadikan cerpen-cerpennya unik dan memiliki daya tarik yang kuat bagi pembaca. Setidaknya bagi saya.
Cerpen “Hadiah dari Magi” (The Gift of the Magi) meninggalkan kesan serupa. Cerita ini mengisahkan pasangan muda, James Dillingham Young yang dipanggil Jim dan Della. Keduanya ingin memberikan hadiah istimewa untuk masing-masing menjelang Hari Natal di kota New York. Namun Della tidak memiliki cukup uang, demikian pula Jim.
Demi cinta dan kemurahan hati, keduanya merelakan harta paling berharga dan sangat mereka banggakan: arloji saku emas milik Jim dan rambut Della. Begitulah kemudian Jim menjual arlojinya untuk membeli sebuah sirkam yang diidamkan Della. Sementara Della menjual rambut panjangnya yang indah untuk membeli sebuah rantai arloji sederhana dari platinum dan berdesain elegan yang sangat layak untuk alroji Jim.


Kenyatan pahit pasangan suami-istri tersebut telah kehilangan apa yang mereka miliki dan yang didambakan masing-masing sebagai hadiah adalah sebuah ironi. Ironi tersebut sekaligus sebagai pesan moral cerita: bahwa hadiah-hadiah itu tidak lebih berarti dibanding kesediaan untuk mengorbankan sesuatu yang berharga demi orang yang dicintai.
“Dari semua orang yang memberi dan menerima hadiah, kedua anak muda inilah yang paling bijak. Mereka pantas disebut Magi.”
Hlm. 51
Ironi yang dihadirkan Henry rasanya tetap relevan hari ini karena menyoroti nilai-nilai universal tentang cinta, pengorbanan, dan kebahagiaan yang melebihi kekayaan material.
Cerita-cerita Henry tidak hanya menghadirkan ironi, tapi juga komedi, sekaligus simpati terhadap nasib manusia. Melalui kedua puluh cerita yang terkumpul dalam buku ini, Henry mengajak melihat dunia dan berbagai fenomenanya dari berbagai sudut pandang, di mana tiap sudut tersembunyi keajaiban dan setiap halaman berisi kejutan. Mengutip Budi Darma sekali lagi, buku ini adalah “bacaan yang baik”.

Judul Buku : The Gift of the Magi and Other Stories
Penulis : O. Henry
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Desember 2023
Tebal : 303 Halaman
ISBN : 978-623-242-424-1

TENTANG PENULIS:
Denny Y.F. Nasution, lahir dan tumbuh besar di Medan, menjadi mahasiswa hingga menamatkan perguruan tinggi di Bandung, bekerja di Jakarta, dan saat ini tinggal di Depok, Jawa Barat. Suka membaca sejak sekolah dasar (terutama koran Waspada terbitan Medan), dan semakin tergila-gila dengan dunia literasi setelah menjadi mahasiswa dan bergabung dengan Bilik Sastra Rumah Kita (BSRK) STIKOM-
Bandung asuhan penyair (alm) Beni R. Budiman. Tulisan berupa resensi buku pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat Bandung dan Koran Jakarta.

RAK BUKU mulai Mei 2024 tayang satu minggu sekali, setiap hari Rabu. Rak Buku adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 700 kata. Honor Rp100 ribu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku, penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.
