Di depan dadanya menggantung ransel berwarna hitam yang sudah sangat kusam. Yang menarik adalah dia menggendong sebuah keranjang dari anyaman bambu berukuran cukup besar. Dililit kain jarik hijau bermotif parang putih. Sisa kain ditudungkan pada bagian atas dengan membiarkan sedikit lubang seukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dibawanya benda itu dengan sangat hati-hati di atas punggung.
Sampai di depan toilet, dia menurunkan keranjang dan ransel, kemudian masuk. Saya melihat jam tangan dan persis pemuda itu keluar, jarum panjang jam sudah bergerak dua kali. Seragam sekolahnya telah tanggal. Berganti kaus oblong putih yang warnanya mulai kekuningan dan celana pendek hitam setinggi lutut.
Setelah ransel berisi seragam masuk ke dalam keranjang, kembali dia gendong benda itu. Sedikit berlari, menuju lapak penjual kopi. Tempat saya berada saat ini.
“Kau baru sampai?” Si pemilik warung menyodorinya satu panci berisi biji kopi sangrai. “Bergegaslah, dua jam lagi pasar sore akan buka!”
Pemuda itu mengangguk. Segera berjalan mendekati sebuah lumpang besar yang terbuat dari kayu, lantas menuang isi panci ke dalamnya. Dengan cekatan, dia mulai menumbuk. Setiap kali dia kuat-kuat mengentakkan alu, terdengar bunyi ‘buk!’ yang berirama.
“Tambahkan ini juga!” Pemilik warung kembali memberinya sebuah panci, lebih kecil.
Setelah isi panci dituang ke dalam lumpang, lalu ditumbuk, aroma harum yang khas mulai menguar.
“Apa yang baru saja dimasukkan itu, Pak?” Saya penasaran.
“Itu irisan kelapa tua sangrai.”
Saya memperhatikan gelas kopi di tangan. “Pantas saja.”
Saya kembali fokus pada pemuda itu. Dia masih terus menumbuk. Caranya menjatuhkan alu ke dalam lumpang mulai sedikit santai. Sedari tadi, saya sudah gatal ingin menanyakan kenapa keranjang itu tidak dia letakkan saja. Tentu gerakannya akan lebih nyaman. Boleh jadi, pekerjaannya pun bisa segera rampung. Namun, saya menelan kembali rasa penasaran itu.
Setelah aroma kopi hitam bercampur kelapa semakin pekat, pemuda itu berhenti menumbuk. Dia mengambil ayakan untuk memisahkan bubuk halus dan kasar. Pinggulnya ikut bergerak-gerak selaras dengan putaran tangan saat mengayak. Dalam lima belas menit, sebuah ebor bambu sudah penuh dengan bubuk kopi halus.
“Ini. Istirahatlah dulu sebelum pulang.” Pemilik warung memberinya upah, juga dua bungkus roti dan segelas teh hangat.
Pemuda itu membungkuk takzim, berterima kasih. Saya sungguh-sungguh mendapati wajah lelahnya tadi tergulung seketika. Dia tersenyum melihat beberapa lembar uang di tangan.
“Apa kau tadi baru pulang sekolah?” Saya berpindah duduk mendekatinya.
Dia mengangguk.
“Kelas berapa?”
Dia menoleh, lalu menjawab dengan sedikit ragu, “Sebelas.”
Saya melirik sebentar pada keranjang yang ada di sebelahnya.
“Kau menggendong keranjang itu terus. Kelihatannya berat.” Saya berbasa-basi. Berharap dia melepaskan saya dari rasa penasaran.
“Tidak berat.” Dia tersenyum, meneguk teh hangat setelah mengunyah roti.
“Kenapa kau tidak meletakkannya saat bekerja? Apa berisi barang berharga? Buku-buku dan seragam sekolah misalnya?”
“Salah satunya itu.” Dia mengangguk.
Saya sudah yakin jika ada sesuatu yang berharga di dalam sana selain buku dan seragam. Hanya saja untuk langsung bertanya, terasa amat lancang.
“Abang fotografer?” Dia menunjuk kamera yang sedari tadi saya kalungkan di leher.
“Begitulah.” Saya mengangguk.
“Apa yang bisa didapat dengan datang ke pasar tradisional di kaki gunung seperti ini?” Wajahnya terlihat ingin tahu.
“Seorang teman mengatakan bahwa saya bisa mendapatkan gambar yang bagus di sini.”
“Gambar seperti apa?” kejarnya.
“Sebuah gambar yang akan membuat dunia membuka mata, menurutnya.”
Entah paham maksud saya atau tidak. Dia hanya mengangguk-angguk.
“Kau bekerja di sini setiap hari?”
“Iya. Sepulang sekolah.”
“Kenapa? Maksud saya, apa kau perlu tambahan biaya sampai harus bekerja?” Saya memperbaiki kalimat. “Anak seusiamu biasanya akan menikmati masa muda. Kau tahu? Saat menjadi dewasa, semua hanya berkisah tentang tuntutan hidup. Masa inilah yang akan dirindukan kelak. Kau tidak ingin banyak bersenang-senang?” Saya mencoba bergurau.
“Mungkin akan menyenangkan hidup seperti itu,” katanya. “Tapi, saya pasti akan menyesali banyak hal di masa mendatang.”
Dia sungguh membuat saya tidak berhenti penasaran. Saya sudah membuka mulut, bersiap melempar pertanyaan. Namun, seketika bungkam saat dia tiba-tiba bangkit, membuka tudung keranjang.
“Bapak sudah bangun? Apa mau makan?” Adalah kalimat darinya yang membuat jantung saya ngilu.
Tubuh kurus, amat kurus. Tulang-tulangnya menonjol, meringkuk dalam keranjang. Mata cekung yang mengerjap-ngerjap pelan, merintih. Jari-jari tangan yang tak utuh, pun hidungnya yang rompal.
“Kau tidak kesusahan membawa bapakmu seperti ini?”
“Saat saya kecil, Bapak juga melakukan hal yang sama sambil berladang. Saya hanya melakukan apa yang pernah dicontohkan. Saya harus bekerja tanpa meninggalkan Bapak di rumah sendirian. Ini mudah,” jawabnya santai.
“Bagaimana dengan bantuan dari pemerintah? Maksud saya, kau bisa dapatkan bantuan untuk sekolahmu. Juga pengobatan.”
Dia mengangkat bahu, tersenyum. “Saya tidak yakin jika kami tercatat sebagai warga negara ini.” Dia tertawa.
Mulut saya seperti disumpal. Hanya bisa terngaga melihat pemuda itu menyuapi bapaknya dengan roti yang dicelupkan terlebih dulu ke dalam teh hangat. Pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi bergelantungan dalam benak, runtuh sudah.
Sejak melihatnya memasuki pasar, kemudian keluar dari toilet, saya sudah banyak menebak isi dalam keranjang yang dia bawa. Seragam, buku, makanan, buah dan sayur untuk dijual, atau mungkin akan dia gunakan sebagai wadah setelah memulung barang bekas di pasar. Rupanya pemikiran itu terlalu dangkal. Membuat saya merasa menyedihkan.
Dia menutup tudung keranjang begitu roti di tangannya tersisa separuh. Benda itu kembali dia gendong.
“Hei!” Saya menahannya yang hendak melangkah pergi. “Bolehkah … apa boleh, saya mengambil gambarmu?”
Dia diam sejenak, lantas mengangguk. “Boleh.”
Saya mengambil dua foto. Saya berikan padanya satu lembar.
“Terima kasih, Bang,” ucapnya senang.
“Terima kasih,” ucap saya sambil menyalaminya, “berkatmu, saya bisa melihat surga di gendongan seorang pemuda.”
Tidak perlu menunggu hitungan hari sampai foto yang saya unggah telah dibagikan ribuan kali. Dunia akan tahu jika di era gemerlapnya kehidupan remaja saat ini, masih ada yang memilih menahan diri demi bakti. Ketika undang-undang luput menjaga, mereka akan berusaha sendiri untuk tetap tegak berdiri. Boleh jadi, anak-anak seperti inilah yang kelak namanya akan dicatat oleh sejarah, bahwa selalu ada aroma paling gurih dalam pahitnya seduhan kopi. (*)
TENTANG PENULISI: Yulistya Yoo. Seorang peracik obat yang menyukai racikan diksi. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media: rahma.id, Bernas.id, dan Koran Merapi Jogja. Selain menulis novel cetak dan antologi, karya-karyanya pun bisa dibaca secara online di KBM APP, Kwikku, KLPK APP, dan Joylada. Bisa disapa di akun Yulistya Yoo (Facebook) dan @yulistya_yoo (Instagram).
CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Honor Rp. 200 ribu dari Ditjen Kebudayaan, Kemdikburistek RI. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu.