Oleh Saepur Rohman

Dalam sebuah kuliah tentang SARA di Asia Tenggara, dosen kami memantik diskusi dengan satu pertanyaan yang terdengar sederhana tetapi menyimpan banyak teka-teki untuk menjawabnya. Kurang lebih begini pertanyaannya: Sebutkan identitas teman-teman dan ingin dikenal sebagai apa oleh orang lain? Banyak dari mahasiswa menjawab dengan bangga bahwa mereka berasal dari suku tertentu, lalu memamerkan darah leluhur masing-masing.

Namun, tidak sedikit pula yang merasa bingung dengan identitasnya, sebab ayah dan ibu mereka berasal dari suku berbeda; bahkan kakek dan neneknya memiliki agama yang berbeda pula. Apakah ini bisa disebut identitas hybrid atau krisis identitas? Bagi dosen kami, identitas adalah sesuatu yang belum jelas definisinya, sebab kini semuanya sudah tidak ada yang betul-betul murni. Identitas kita sudah merupakan hasil persilangan budaya, ras, suku, agama, dan lainnya.

Tapi masalahnya, mengapa masih banyak orang yang berkonflik karena masalah identitas? Pertanyaan ini terus bersarang lama di kepala saya dan, tentu, membutuhkan jawaban yang jelas agar kita bisa mencegah terjadinya konflik-konflik yang bersumber dari perbedaan itu sendiri. Beruntung, pencarian saya atas teka-teki itu menemukan pencerahan lewat buku Kita dan Mereka: Perjalanan Menelusuri Akar Identitas dan Konflik Manusia karya Agustinus Wibowo.

Agustinus kali ini menyuguhkan kita sebuah narasi yang bukan sekadar catatan perjalanan seperti triloginya (Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol). Lebih dari itu, ia menggabungkan pengalamannya sebagai pelancong dengan pengetahuan sejarah yang mendalam. Tentu, cakupan buku ini dalam membedah masalah identitas sangat luas, sehingga tidak mungkin saya membahasnya seluruhnya di sini. Fokus saya adalah pada konsep yang disebut Tembok Identitas.

Agustinus menjelaskan dengan sangat apik apa itu tembok. Menurutnya, tembok pada mulanya tercipta karena masyarakat nomaden yang mulai mengenal sistem pertanian. Akibatnya, masyarakat yang berbudaya cocok tanam merasa memiliki tanah dan kemudian membangun pagar-pagar (tembok) agar tidak dikuasai orang lain. Berbeda dengan masyarakat nomaden, yang tidak merasa memiliki tanah dan bebas berpindah-pindah.

Dalam skala lebih besar, dia juga menggambarkan bahwa tembok adalah sistem pertahanan yang hampir selalu ada di setiap negara. Ia memberikan contoh berdirinya Tembok Cina, Tembok Berlin, hingga tembok antara Amerika Serikat dan Meksiko. Pendirian tembok sering kali disertai narasi bahwa dunia di luar tembok adalah dunia lain yang dihuni oleh manusia barbar, hina, tidak berbudaya, dan penuh keburukan.

“Tembok bukanlah benda mati. Dia hidup, dan senantiasa membelah manusia di kedua sisinya menjadi kubu yang sederhana: kita dan mereka. Tidak peduli apakah tembok itu dibangun untuk membendung serangan luar ataukah untuk mencegah perpecahan dari dalam, begitu sebuah tembok dibangun, efeknya tetap sama: menciptakan dunia baru yang mendefinisikan manusia secara tegas menjadi dua kubu berlawanan hanya dengan pembedaan satu identitas yang ditentukan tembok” (hal. 40).

Tembok fisik barangkali kurang relevan dengan pembentukan identitas di Indonesia, tetapi bagaimana dengan tembok yang ada dalam pikiran kita? Tembok semacam ini bahkan lebih berbahaya karena sifatnya abstrak tetapi efektif membuat kita merasa berbeda dari orang lain. Beberapa contoh tembok itu adalah perbedaan agama, mazhab, hingga ideologi.

Konflik karena agama, mazhab, dan ideologi sudah sering terjadi di Indonesia, bahkan menyebabkan banyak korban jiwa. Masalahnya, mengapa kita tidak pernah belajar dari sejarah? Menurut Agustinus, manusia memiliki sifat dasar yang mirip dengan mamalia sosial, yaitu membenci sesuatu yang asing dan menganggap dirinya lebih mulia daripada yang lain. Contohnya, menganggap agama orang lain sesat dan hanya agamanya yang paling benar (hal. 33).

Sebagai orang yang sering mendengar kasus-kasus intoleransi, saya merasa tertampar dengan satire-satire Agustinus. Salah satunya adalah ini: “Di masa lalu, orang bisa membunuhmu karena kau tak punya Tuhan. Kau punya Tuhan pun, mereka masih akan membunuhmu karena Tuhanmu berbeda. Jika Tuhanmu sama pun, nabimu berbeda. Nabimu sama pun, gurumu berbeda, atau cara sembahyangmu berbeda, atau pakaianmu berbeda …” (hal. 19).

Menurut saya, pola pikir semacam ini bisa diubah seiring bertambahnya ilmu. Meminjam kata-kata Gus Dur: Perbedaan itu fitrah, dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan yang universal. Itu berarti kita tidak bisa menolak perbedaan sebagai realitas sosial. Tugas kita bukan mencari-cari masalah dalam perbedaan, tetapi menemukan persamaan, salah satunya adalah persamaan sebagai manusia.

Hematnya, saya telah menemukan jawaban mengapa manusia selalu berkonflik karena identitas. Walaupun narasi Agustinus cenderung evolusionis, saya bisa menerimanya. Yang menjadi persoalan, Agustinus tidak memberikan jawaban pasti apakah umat manusia bisa keluar dari tembok-temboknya. Ia justru menyatakan bahwa selalu ada yang harus dikorbankan: rasa aman (tembok) atau hasrat kebebasan. Kebebasan mempertaruhkan keamanan, sedangkan keamanan membelenggu kebebasan.*

Yogyakarta, 27 November 2024

Identitas buku:

Penulis: Agustinus Wibowo

Judul: Kita dan Mereka: Perjalanan Menelusuri Akar Identitas dan Konflik Manusia

Tempat dan penerbit: Bandung: Mizan

Cetakan dan tahun tebrit: III, Maret 2024

Halaman: 667

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5