
Oleh: Auliatus Syarifah
Tiada kehidupan tanpa adanya sebuah perjuangan. Hidup memang selayaknya kompetisi. Setiap orang berlomba-lomba meraih apa yang cita-citakannya. Tentunya, banyak sekali jalan yang bisa ditempuh untuk meraih apa yang dicita-citakan tersebut.
Namun, terkadang tak sedikit yang menggunakan jalan yang salah untuk meraihnya. Apapun ditempuhnya demi sebuah kehormatan, jabatan, dan kemenangan. Kita juga bisa melihat di era sekarang ini, bagaimana tatanan kehidupan yang susah diatur, kejahatan di mana-mana, dan korupsi juga belum nampak tanda-tanda kesembuhannya.

Ambisi dan Kehormatan dalam Masyarakat Jawa
Setiap orang begitu getol mengejar ambisi dan segala nilai-nilai duniawi. Mereka seolah dipacu untuk menjadi pemenang. Namun, dalam masyarakat Jawa, ada saatnya kita dituntut mengambil langkah mundur untuk mengalah.
Mengalah bukan berarti kalah. Justru, dengan sikap mengalah inilah yang nantinya akan melahirkan kebaikan dan kemuliaan. Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “wani ngalah luhur wekasane.” Pepatah tersebut memiliki makna bahwa seseorang yang berani mengalah, maka ia akan mendapatkan kemuliaan.
Melalui buku yang berjudul ‘Wani Ngalah Luhur Wekasane’ ini, penulis mengajak pembaca untuk bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi setiap persoalan yang hadir. Karena tak dapat dipungkiri, terkadang saat persoalan itu hadir, kita malah marah tak karuan sembari mengutuk keadaan.
Maka, hadirnya buku ini juga sedikitnya dapat menjawab segala kegelisahan di hati. Sehingga, sebagaimana dalam pengantar buku ini, tak hanya menjadikan diri yang lebih tenang, kita juga bisa menyemai hati dan jiwa yang kian hari semakin layu.

Menelusuri Makna Mengalah
Sembari menyeruput secangkir es kopi, aku tenggelam dalam buku bercover merah ini. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, penulis juga memberikan uraian mengenai ragam jalan yang dapat ditempuh menuju ridho-Nya. Dituangkan dengan saran yang dibagikan pada bab satu hingga lima, kita dapat semakin menyelami makna ikhlas, sabar, taubat, dan sebagainya. Sehingga, kita dapat lebih mudah untuk menjadi pribadi yang wani ngalah.
Ngalah vs Kalah
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sering menjumpai konflik antar sesama. Entah itu karena masalah kecil atau besar. Apalagi, jika masalah tersebut sudah menyeret tentang harga diri seseorang. Jangankan mereka yang berkuasa, kaum wong cilik pun tak segan melawan untuk menjaga harga dirinya. Dalam kaitannya dengan harga diri, meminta maaf merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
Memang, secara lisan kata “maaf” ringan diucapkan. Namun, terkadang hati begitu berat untuk menerima dan melakukannya. Terlebih lagi jika yang berseteru adalah sama-sama orang besar atau memiliki kekuasaan. Mereka enggan mengakui kesalahan, sehingga dalam hal ini tidak ada yang mau mengalah.
Kata ngalah dan kalah sepintas terdengar sama, namun, menelisik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan kaitannya dengan filsafat Jawa, tentulah memiliki makna yang berbeda. Kalah bermakna tidak menang atau diungguli lawan, sedangkan ngalah dalam masyarakat Jawa dimaknai sebagai bentuk dari mengaku kalah dengan sengaja tidak menuntut apapun.
Tentunya, sikap ngalah ini dilakukan untuk mendapatkan tujuan yang lebih mulia daripada sekadar popularitas (hlm. 14).

Kearifan dalam Filsafat Jawa
Membaca tiap halaman buku ini seakan sedang diberi wejangan oleh orang tua dengan bahasa yang begitu adem kala memaknainya. Sebagai kaum muda dengan jiwa yang berapi-api, terkadang sulit mengendalikan ego ketika dihadapkan pada perkara, meskipun itu hanya perkara remeh.
Dengan memaknai filsafat Jawa ‘Wani Ngalah Luhur Wekasane’, semakin mengingatkan kita bahwa mengalah demi kedamaian dan kebahagiaan merupakan jalan terbaik, dibandingkan menuruti ambisi dan ego pribadi.
Wani Ngalah Sebagai Jalan Kembali

Sejatinya, orang yang wani ngalah tidak akan memberikan perlawanan terhadap orang lain yang membencinya, bahkan yang memaki dirinya. Karena, berdasarkan filsafat Jawa, wani ngalah ini adalah sikap legowo, yang sanggup menerima hal-hal kurang baik yang ditujukan kepada dirinya. Filsafat Jawa mengajak kita untuk mencari kebenaran, bukan ketenaran.
Sikap ngalah dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada saat naik kendaraan umum dan semua kursi sudah terisi penuh oleh penumpang, lalu seseorang bangkit dan memberikan kursinya kepada ibu hamil atau orang tua yang tidak mendapatkan tempat duduk.
Tentunya, masih banyak contoh lain dari sikap ngalah dalam kehidupan sehari-hari. Alasan ngalah ini beragam; ada yang mengalah karena pertimbangan kemanusiaan, moral, hubungan kekeluargaan, dan sebagainya (hlm. 5).
“Wani ngalah luhur wekasane,” siapa yang berani mengalah pada akhirnya akan mendapatkan kemuliaan. Dengan hidup ngalah, ia akan menjadi magnet yang menarik kemudahan-kemudahan hidup. Ketenangan jiwa akan mudah didapatkan dengan berlaku ngalah.
Seorang yang wani ngalah juga akan menjadi kaya, meskipun tanpa harta, dan menjadi kuat tanpa harus adu kekuatan. Maka, sebagai seorang Muslim, sudah selayaknya kita memperjuangkan dan menempuh jalan ini untuk menuju ridho-Nya.

RAK BUKU mulai Mei 2024 tayang satu minggu sekali, setiap hari Rabu.  Rak Buku adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 700 kata. Honor Rp100 ribu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku,  penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.
