Oleh: Vini Hidayani

Langkah Pertama di Kansai: Musim Dingin yang Sunyi

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kansai Internasional Airport, Osaka, sudah terlihat jejak-jejak sunyi kota ini. Hari itu di pintu arrival, suasana bandara tidak terlalu ramai, mungkin karena kedatanganku belum masuk ke puncak natal sekalipun sudah memasuki musim dingin di bulan Desember. Berbekal informasi dari Tik-tok, aku langsung bergegas membeli kartu ICOCA untuk akses transportasi dan pembayaran selama di Osaka. 

Setelah empat puluh menitan berada di highway train, aku pun turun di Stasiun Namba. Stasiun ini sangat dekat dengan Dotonbori, pusat kuliner dan fashion di Osaka. Begitu masuk dalam kawasan jalan Dotonbori, aku dihadapkan dengan suasana yang begitu ramai, orang-orang yang berjalan begitu cepat nan banyak sekali turis dari berbagai belahan dunia. 

Sekalipun sedang musim dingin dan setiap orang mengenakan jaket tebal, orang-orang di jalanan benar-benar seperti model yang sedang berjalan. Kesunyian dalam jalanan yang begitu ramai ini sama sekali tidak bisa aku bayangkan di jalanan Jakarta. Setidaknya pasti ada suara klakson atau suara orang yang berbicara dengan keras.

Hostel yang Ramai, Namun Tetap Sunyi

Sampai ke penginapan, suasana menjadi lebih sunyi. Hostel yang kebanyakan diisi oleh turis mancanegara ini begitu ramai, sekaligus begitu sunyi. Untuk berbicara dengan temanku di lobi hostel, kami perlu berbisik-bisik, selain untuk menaati budaya di Jepang, kami tentu tidak ingin menjadi pusat perhatian. 

Hostelku tidak dilengkapi dengan dapur, sehingga semua makanan perlu kami beli di luar. Maka, makanan convenience store sepeti Family Mart dan Lawson benar-benar menjadi penolong selama di Osaka. Sarapan dangan onigiri tuna mayo, lalu siangnya mencari apa saja makanan yang kebetulan kami lewati yang halal.

Paling sering adalah Takoyaki dan Okonomiyaki rasa gurita. Untuk snack, roti ikan dengan isi kacang merah aku rasa menjadi jajanan yang sangat perlu dicoba! Di korea namanya “Bungeo ppang”, hal ini aku ketahui dari papan nama di toko yang bertuliskan hangeul yang kebetulan lebih aku mengerti dibanding Kanji. 

Bahasa Inggris yang Tidak Menjadi Tembok

Orang-orang Jepang yang kutemui banyak yang tidak mahir berbahasa Inggris, sehingga kalau ada kesulitan dalam menanyakan jalur metro, jalanan, atau apapun, aku sangat mengandalkan google translate untuk mengkomunikasikannya menggunakan bahasa Jepang. Tetapi tentu bahasa google translate kadang tidak sepenuhnya tepat memahami maksudku dan terdapat satu dua miskonsepsi. 

Ada beberapa kejadian yang ingin kuceritakan tentang orang-orang yang kutemui selama di Jepang. Pertama tentang toilet. Sebelum berangkat ke Jepang, aku sudah mempelajari jenis-jenis toilet yang memiliki banyak sekali tombol itu. Sayangnya, jenis closet itu tidak hanya satu dan seragam.

Setidaknya selama di Jepang aku menjumpai empat jenis toilet yang semuanya tertulis menggunakan bahasa Jepang. Untuk antisipasi, aku selalu menerjemahkan setiap tombol, minimal sekali aku tahu tombol flush berada dimana sebelum memutuskan menggunakannya. 

Pada sebuah sore, aku mengunjungi Osaka temple yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Dotonbori. Di sana terdapat ruang pemujaan, patung-patung, dan semacam kuil. Nah musim dingin ini kebetulan membuat intensitasku ke toilet menjadi lebih sering, beruntung di sana ada toilet. Tetapi setelah kutelusuri semua tombol di dalamnya, tidak terdapat tulisan flush.

Akhirnya setelah menunggu selama beberapa saat, aku bertanya kepada seorang nenek yang baru saja keluar dari toilet mengenai cara untuk flush. Nenek itu sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, aku pun menggunakan google translate yang juga masih sulit untuk menerjemahkan kata “flush” agar dipahami oleh nenek tersebut. 

Aku yang sudah hampir putus asa lantas mengucapkan terima kasih, dan tidak apa-apa kalau nenek itu tidak memahami yang kukatakan. Tetapi nenek itu tidak lantas pergi, ia masih menungguku sambil berusaha berbicara dengan bahasa Jepang yang tidak kupahami. Ia masih berusaha membantu walau sebenarnya kami tidak bisa berkomunikasi. Hingga akhirnya nenek tersebut mengerti dan membantuku menunjukkan tombol yang ternyata berada di belakang closet. 

Pertukaran Budaya: Dari Temple hingga Toko

Masih di Lokasi temple, di sana ada sisi ruang yang terbuka, terdapat 2-3 orang biksu di sana. Aku melihatnya seperti warung. Orang-orang mengantri, membayar, lalu mendapatkan potongan kayu kecil yang dituliskan dengan kata-kata berbahasa Jepang.

Rasa penasaran membuatku bertanya pada orang-orang yang baru selesai mengantri. Ketika itu ada sekelompok anak muda, aku tebak mereka dalam rentang usia di bangku kuliah semester awal. Ada laki-laki dan perempuan sekitar 7 orang. 

Pertanyaanku kira-kira apa yang sedang dilakukan semua orang, dan orang-orang itu membayar untuk apa. Ternyata mereka juga tidak terlalu lancar berbahasa Inggris, aku lalu mengucapkan terima kasih dengan cepat. Tetapi ternyata mereka tidak lantas pergi, mereka masih mencoba menjelaskan dengan bahasa inggris yang mereka ketahui dan bahasa Jepang agar aku mengerti.

Google translate kali ini benar-benar membantuku! Ternyata orang-orang datang meminta doa dan harapan, mereka lantas membayar 200 Yen dan mendapatkan semacam jimat. Mereka juga merekomendasikan aku untuk mencobanya. 

Lain lagi ketika aku sedang berada di sebuah toko. Aku mencari fashial foam, tapi tidak kunjung menemukannya di rak. Ditambah, aku rasa sedikit sekali petugas dan pekerja di toko-toko dan fasilitas publik di Osaka, sehingga aku akhirnya menanyakan kepada orang yang kebetulan sedang berbelanja juga di sana.

Seorang perempuan kantoran usia 30-an awal tebakku. Perempuan ini juga tidak terlalu bisa bahasa Inggris, aku pun ya seperti sebelumnya mengucapkan terima kasih. Tetapi ternyata ia juga tidak meninggalkanku, ia membantuku mencari letak produk yang kumaksud dari rak ke rak hingga akhirnya aku menemukannya. 

Yang ingin kukatakan adalah, bahasa sama sekali tidak menjadi tembok pemisah di sini. Orang-orang akan membantu sebisanya, tidak ada tatapan aneh kalau kita tidak tahu tentang suatu hal yang basic seperti cara menggunakan mesin kopi.

Ini membuatku ingin menjelajah negeri ini sekali lagi, ke Kyoto dan Hokkaido yang tidak sempat kujelajahi karena aku harus lekas pulang ke Yogyakarta untuk mengejar sidang ujian tesis. Dan sebagai perempuan, perjalanan ke Osaka ini menurutku juga sangat aman kalau dilakukan secara solo. 

Kualitas Udara dan Panjang Umur

Di Osaka, Aku juga berkesempatan mengunjungi Osaka Botanical Garden. Ini menjadi perjalanan yang begitu menggembicarakan sepanjang jalan. Hamparan lapangan yang diisi oleh berbagai aktifitas, para lansia yang sedang berjemur dan duduk-duduk di kursi taman, orang-orang yang berolahraga kecil di sisi lapangan, yang bersepeda, pasangan yang sedang bercengkerama, dan yang paling membahagiakan adalah kualitas udara yang sangat baik!

Aku banyak melihat orang tua di sini yang masih sanggup berjalan cepat, postur tubuhnya tegak dan tidak bungkuk. Mereka masih kuat berjalan di metro dengan jalur yang panjang, rumit, dan never ending tangga itu. 

Barangkali yang membuat mereka panjang umur dan senantiasa sehat adalah sistem kota yang bagu, transportasi yang begitu terintegrasi, sehingga orang-orang yang hendak bepergian cukup hanya naik metro atau bus, dan kemudian bisa berjalan kaki selama beberapa menit. Berjalan kaki di lingkungan yang sehat dan kualitas udara yang baik yang mungkin membuat orang-orang Jepang menua dengan sehat. Aku membayangkan seandainya Jakarta menjadi kota yang seperti itu, rasanya pasti membahagiakan.  

Tentang Makna

Menurutku cara tercepat memahami budaya dan belajar kebudayaan lain adalah melalui orang-orangnya. Oleh karena itu, aku kerap kali berbincang dengan siapa saja. Respon orang lain akan mempengaruhi persepsi kita dalam melihat sesuatu. Itu juga yang kerap kulakukan selama di Osaka.

Aku berbincang dengan orang-orang di hostel ketika mengantri di depan mesin kopi, aku berbicang dengan turis dari Australia dan Budapest ketika sedang mengeringkan rambut, aku mengajak bicara anak-anak SD yang baru pulang sekolah di metro, nenek-nenek yang kutemui di temple, hingga hal-hal yang membuatku tertarik seperti cara merawat rambut gimbal ala afrika pada seorang gadis Srilanka yang tinggal di Australia, dan saling bertukar sapa dengan seorang perempuan asal Vietnam yang tinggal dan bekerja di Budapest, Hungaria. Yang terakhir kami bahkan menjadi teman dan terhubung melalui media sosial. 

Pada akhirnya, bagiku perjalanan itu tidak hanya tentang melihat objek wisata, di sana ada pertukaran ide sekalipun butuh waktu untuk menyadarinya secara mendalam. Ada perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah perjalanan.

Tempat-tempat baru yang dikunjungi kadang menjadi jejak cinta orang-orangnya, kadang juga mencerminkan jejak kekerasan. Memahami manusia dan kemanusiaan melalui perjalanan, dan rasanya aku tidak ingin lelah dalam mencari kerinduan pada kata “pulang”. 

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling di luar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5