Setiap saya traveling saat muda, mencari penginapan gratis tentu di masjid, stasiun, terminal, atau di pasar. Tidur sesukanya saja. Tapi sekarang setelah jadi suami dan ayah, tentu tidak bisa lagi seperti itu. Apalagi masjid ketat sekarang. Juga peron di stasiun kereta jadi area terlarang. Di terminal bus mungkin masih bisa,l tapi premannya sekarang nekad-nekad.

Sekarang setiap traveling saya menikmatinya dengan menginap di hotel kelas melati yang dinaikkan levelnya ke hotel bintang 3. Jika ada lembaga yang mengundang untuk memberikan pelatihan, saya selalu memilihnya di jantung kota, selalu minta diinapkan di alun-alun atau pasar. Bahkan jika ada dana APBN bintang 4, jika memungkinkan tetap lokasinya di jantung kota.

Kenapa harus di jantung kota? Bagi saya ini cara mudah untuk berinteraksi dengan warga setempat. Ini saya anggap riset lapangan untuk mengkonfirmasi apa-apa yang saya baca di buku tentang kota yang saya kunjungi. Sebagai penulis, saya membutuhkan berbagai macam informasi atau peristiwa untuk mengisi ceruk hati. Suatu saat – kadangkala itu jadi pemicu menemukan ide.

Kenapa harus di jantung kota? Saya paling senang bangun pagi dan jalan-jalan menyusuri keramaian. Memang tidak ada jantung kota seatraktif jalan Malioboro, Yogyakarta. Saya betah menginap di sini. Biasanya saya menginap di Hotel Bhineka di utara Stasiuin Tugu. Jika lapar, tinggal menyeberang saja. Sarapan pun mudah, susuri saja Maliobro, akan banyak aneka macam kuliner. Mau yang khas Yogya semodel angkringan atau nasi gudek, tersedia semuanya.

Gol A Gong

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia