
Ada satu perasaan yang saya syukuri selama hampir tiga minggu terakhir menjelajahi Madura, Lombok, dan Bali—perasaan bahwa saya belum benar-benar pergi jauh.
Padahal, kalau dihitung dari jarak, perjalanan ini cukup panjang. Dari Jakarta, saya menempuh 12 jam perjalanan dengan kereta ke Surabaya, lalu melanjutkan dengan kapal laut selama 23 jam menuju Pelabuhan Lembar, Lombok. Hampir dua hari penuh di perjalanan. Namun, anehnya, hati saya tak merasa jauh.


Mungkin karena di setiap perhentian, saya selalu menemukan kehangatan. Teman-teman baru yang tiba-tiba seperti saudara, keluarga yang tak sedarah tapi menyambut dengan tangan terbuka, dan orang-orang baik yang tanpa ragu menawarkan bantuan.



Ada rasa familiar yang membuat saya merasa tetap “di rumah,” meskipun peta berkata sebaliknya. Dan bagi saya, ini adalah hal yang paling patut disyukuri dari sebuah perjalanan.
Dari perjalanan ini, saya belajar satu hal: memperluas zona nyaman bukan berarti kehilangan pijakan, melainkan menemukan tempat baru untuk berdiri. Saya mencoba keluar dari lingkaran kecil dan membuat lingkaran yang lebih besar. Bukan hanya tentang destinasi, tapi tentang memahami bahwa Indonesia adalah budaya yang harus dirasakan, tradisi yang harus dialami, dan keragaman yang harus dihargai.



Sejak 2022, saya memimpikan satu hal: menjelajahi Indonesia, setidaknya separuh dari jumlah provinsi yang ada. Saat ini, saya sudah menjejakkan kaki di sembilan provinsi: Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Masih ada sepuluh provinsi lagi yang harus saya kunjungi untuk mencapai setengah dari 38 provinsi di Indonesia. Dan itu berarti, saya harus melangkah keluar dari Pulau Jawa, menuju tempat-tempat baru yang menanti untuk diceritakan.

Semoga suatu hari nanti, saya bisa melihat kembali perjalanan ini dengan senyum, menyadari bahwa mimpi yang dulu hanya ada di kepala kini sudah menjadi jejak yang mesti diceritakan. Aamiin.


