Oleh: Zaeni Boli

Bukan zamannya lagi suara-suara kritis terhadap sebuah kebijakan dibungkam. Setiap orang di negeri demokrasi layak dan berhak bersuara. Bersuara bisa lewat orasi, bicara lantang, atau menuliskan opini. Namun, ternyata tidak setiap orang dibekali kemampuan menulis apa yang ia rasakan.

Kurangnya pembiasaan dalam menulis membuat banyak orang kesulitan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Masa iya, untuk berpendapat saja dibutuhkan kecerdasan buatan? Menulis adalah cara mengasah pikiran dan membangun pemahaman, paling tidak untuk diri sendiri.

Di negara-negara maju, kemampuan menulis adalah hal dasar, tetapi tidak demikian di Indonesia. Sebuah berita di media nasional mengungkap fakta mengejutkan: masih ditemukan mahasiswa di Kota Kupang, NTT, yang belum lancar membaca. Ini adalah kenyataan yang sangat miris.

Menulis membutuhkan pembiasaan agar menjadi kebiasaan. Menulis bisa dimulai dari hal-hal paling sederhana, seperti mencatat apa yang kita lihat dan rasakan. Dengan kemampuan menulis yang lebih baik, kita bisa bersuara lewat opini, puisi, cerpen, atau bahkan novel, seperti yang dilakukan para penulis masa lalu, misalnya Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar.

Salah satu cara melatih kebiasaan menulis sejak dini adalah dengan menuliskan kembali apa yang telah dibaca menggunakan bahasa sendiri. Ini bisa dimulai dari membaca buku anak-anak tingkat dasar, seperti jenjang A dan B1.

Menulis adalah wujud keberanian berpendapat. Dengan menulis, kita bisa menyuarakan ketidakadilan yang masih banyak dirasakan masyarakat kecil di Indonesia.

Berjuang tidak hanya dengan senjata, tetapi juga dengan pena yang dipandu oleh pikiran cemerlang dan terlatih.

Sebagai motivasi bagi anak muda, jadilah bagian dari generasi emas yang kelak mewujudkan impian Indonesia maju.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5