
Ramadan kembali hadir, membawa suasana khusyuk dan hangat di berbagai penjuru negeri. Namun bagi seorang pengusaha berusia 60-an yang tinggal di sebuah rumah besar di pinggiran kota, bulan suci ini justru menguak kesepian yang selama ini diam-diam ia telan. Istrinya telah tiada sejak lima tahun lalu. Empat anaknya, masing-masing sudah berkeluarga dan menetap di empat kota berbeda. Rumah yang dulu ramai dengan tawa dan obrolan kini lebih sering dipenuhi suara detik jam dinding dan gema azan dari televisi.
Setiap kali menjelang magrib, ia menyiapkan sendiri menu buka puasa: sepiring kolak, segelas teh hangat, dan beberapa potong gorengan. Meja makan besar itu terasa asing baginya sekarang—sebuah ruang kosong yang tak bisa diisi dengan makanan sebanyak apa pun. Ia bukan tak mampu membeli teman, mempekerjakan pembantu, atau memesan makanan dari restoran ternama. Namun bukan itu yang ia cari. Yang ia rindukan adalah kebersamaan: canda tawa anak-anaknya, pertanyaan kecil dari istrinya, atau bahkan sekadar suara piring beradu saat makan bersama.
Pengusaha ini mulai menyadari bahwa kesepian bukan hanya soal kehilangan, tapi juga soal tidak tahu bagaimana mengisinya. Maka ia pun mulai berpikir: Apa yang bisa kulakukan agar tidak berbuka puasa sendirian?
Pertama-tama, ia memutuskan untuk keluar dari bayang-bayang kesunyian rumahnya. Ia mulai rutin berbuka puasa di masjid lingkungan, di mana takjil dibagikan secara cuma-cuma dan orang-orang berkumpul dengan wajah hangat. Di sana, ia berbagi cerita dengan sesama jamaah, bahkan beberapa anak muda yang tertarik dengan kisah perjuangan bisnisnya. Perlahan, ia merasa dihargai dan dibutuhkan lagi.

Tak berhenti di situ, ia juga menghubungi panti asuhan di kota tersebut. Ia menawarkan diri untuk menyumbangkan hidangan buka puasa setiap Jumat, dan ia sendiri yang akan datang untuk menyantapnya bersama anak-anak di sana. Tangisnya pernah tumpah, bukan karena sedih, tapi karena ia merasakan kehangatan keluarga yang sempat ia kira telah hilang selamanya.
Ia pun menginisiasi program “Berbagi di Meja yang Sama”—mengundang para pekerja lepas, tetangga lansia, atau siapa pun yang tinggal sendiri untuk berbuka puasa di rumahnya. Rumah besar itu kembali ramai. Bukan lagi oleh darah dagingnya sendiri, tapi oleh ikatan sesama manusia yang saling membutuhkan.
Kesepian, ia pelajari, bukan takdir yang harus diterima begitu saja. Ia adalah ruang kosong yang bisa diisi dengan niat baik dan tindakan kecil. Ia tak lagi berharap semua anaknya bisa pulang dalam satu waktu. Ia tahu hidup mereka kini punya prioritas sendiri. Tapi ia juga tahu bahwa selama ia membuka pintu hatinya, akan selalu ada yang datang mengetuk.
Ramadan tahun ini berbeda. Meja makannya tak lagi sunyi. Dalam keheningan yang dulu menyesakkan, kini hadir suara tawa baru. Seorang pengusaha yang dulu merasa kehilangan segalanya, kini menemukan kembali makna keluarga—dalam bentuk yang tak ia duga sebelumnya.
*) Kota Serang 23 Maret 2025 – Tim GoKreaf/ChatGPT

