Rumah itu besar, luas, dan mewah. Tapi tak ada yang bisa menyanggah: rumah itu juga sepi. Setiap kali Ramadan tiba, kesepian itu terasa lebih tajam, seperti jarum-jarum halus yang menusuk tanpa suara.

Pak Hasan, seorang pengusaha sukses yang telah membangun perusahaannya dari nol, kini tinggal sendirian. Istrinya wafat lima tahun lalu. Keempat anaknya telah berkeluarga dan menetap di empat kota berbeda. Sesekali mereka menelepon, bahkan mengirimkan parsel Ramadan, tapi kehadiran mereka—itulah yang paling ia rindukan.

Hari itu, seperti biasa, Pak Hasan menyiapkan buka puasa sendiri. Di atas meja makan panjang terhidang kolak pisang, gorengan, dan nasi dengan ayam opor buatan sendiri. Tapi hanya ada satu piring, satu gelas, dan satu kursi yang terisi.

Ia menatap kursi-kursi kosong lain di sekeliling meja. “Dulu, kalian semua berebut gorengan,” gumamnya sambil tersenyum kecil, lalu menarik napas panjang. Hening.

Sampai akhirnya, sesuatu dalam dirinya berubah.

Keesokan harinya, Pak Hasan berjalan ke masjid kampung dan ikut berbuka puasa bersama warga. Ia duduk di antara anak-anak muda dan beberapa lansia, menyantap takjil sambil mendengarkan cerita mereka. Ia tertawa. Rasanya seperti lama sekali ia tidak tertawa bersama orang lain.

Beberapa hari kemudian, ia menyumbang makanan ke panti asuhan dan datang sendiri untuk berbuka bersama anak-anak di sana. Seorang anak laki-laki tiba-tiba memeluknya, “Pak Hasan seperti kakek saya.” Air matanya jatuh, tak sempat ia sembunyikan.

Lalu datang ide itu.

Pak Hasan membuka pintu rumahnya. Secara harfiah. Ia menamai programnya “Meja Makan untuk Banyak Hati.” Lewat grup WhatsApp RT dan selebaran di masjid, ia mengundang siapa saja yang berbuka puasa sendirian: lansia, perantau, mahasiswa, tukang ojek, siapa pun. Syaratnya cuma satu: datang dengan hati terbuka.

Hari Jumat pertama program itu, sepuluh orang datang. Pekan berikutnya, dua puluh. Meja yang dulu sunyi kini penuh dengan suara tawa, senda gurau, dan obrolan hangat. Anak-anak bermain di halaman, orang dewasa saling bertukar cerita.

Pak Hasan duduk di ujung meja, tersenyum puas. Ia tidak lagi sendiri. Bukan karena anak-anaknya pulang, tapi karena ia telah menciptakan keluarga baru—keluarga yang terjalin bukan oleh darah, tapi oleh niat baik dan rasa ingin berbagi.

Ramadan itu, meja makan Pak Hasan kembali hidup. Dan hatinya, akhirnya, tak lagi sepi.

*) Kota Serang 23 Maret 2025 – Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5