
Emak bercerita lagi tentang kisah cintanya dengan Bapak. Aku tentu senang mendengarnya dan membuatku kagum dengan tekad Bapak. Itu ketika cerita sampai kepada Emak mengetahui Bapak yang membayar tagihan sembako di Babah Akong, Pasar Jum’at, Purwakarta.
“Kenapa ngebayarin tagihan di Baba Akong?” tanya Emak.

Ternyata Bapak menyukai Emak, yang kerja keras sekolah ke Jakarta dan ingin meningkatkan kualitas hidup keluarga yang petani.
“Kalau suka, datang ke rumah. Minta sama Abah,” Emak menantang Bapak.
Bapak betul-betul datang ke rumah Emak di kampung Benteng, Koncara. Rumah Emak di tengah kebun yang luas. Ada pohon kecapi, rambutan, durian, jamblang, huni, tangkil, nangka, bambu, mangga, jengkol, dukuh, sawo, kopi, dan kelapa.
“Haris,” panggil Abah. “Coba ambilkan kelapa!”

Bapak yang anak pegawai negeri – ayah Bapak di Dinas Kehutanan – tidak mundur dan pantang menyerah. Bapak memanjat pohon kelapa dan berkali-kal merosot turun. Kata Emak, dada Bapak merah dan lecet. Tapi kemudian berhasil sampai puncak dan mngambil beberapa kelapa.
Abah senang dan menerima. Mereka menikah tahun 1958 di Purwakarta. Menurut cerita Bapak dan Emak, dari pihak Bapak – terutama orang tua Bapak – tidak setuju karena Emak anak petani.
*) Gol A Gong, Serang 15 April 2025

