
Oleh: Naufal Nabilludin – Relawan Rumah Dunia
Ada satu perasaan yang sering datang dan menetap setiap kali saya ikut terlibat dalam acara di Rumah Dunia. Rasanya seperti jatuh cinta berkali-kali—haru, bangga, dan penuh rasa syukur.
Bukan tanpa alasan. Saat sedang berkegiatan, saya sering dibuat terpukau oleh betapa besarnya Rumah Dunia dalam diam. Tempat ini bukan sekadar komunitas; Rumah Dunia telah menjadi pusat belajar dan ruang tumbuh bagi banyak orang. Atau seperti yang sering dikatakan Mas Gong: episentrum gempa yang menghancurkan kebodohan.




Saya merasakan itu lagi saat Panggung Sastra Rumah Dunia yang digelar Minggu, 13 April 2025 kemarin. Dua buku dibedah dalam satu acara: Satu Kisah Dua Pencerita karya Mas Toto ST Radik, dan Perangkap Pikiran karya Bang Ade Ubaidil. Acara ini menghadirkan Hilmi Faiq, redaktur sastra Kompas, sebagai pembedah. Buat saya, kehadiran Mas Hilmi adalah oase—memperkaya perspektif peserta yang hadir.
Beberapa tahun belakangan ini, Rumah Dunia memang jarang menghadirkan penulis nasional dari luar circle-nya. Tapi acara panggung sastra kemarin berbeda, dan rasanya seperti sebuah suntikan energi sekaligus tamparan lembut—saya harus lebih rajin membaca dan menulis. Tidak ada cara lain.
Saat acara berlangsung, saya duduk di lingkaran teater terbuka, dihembus angin sejuk sore. Saya melihat bangunan-bangunan sederhana yang berdiri kokoh: RB3, Pendopo, cafe, dan auditorium. Semua ini bukan hasil dana pemerintah, bukan pula dari pajak masyarakat.


Rumah Dunia dibangun dengan kata-kata, dengan doa, dan dengan keikhlasan banyak orang yang tak bisa dihitung nilainya. Bahkan, sampai saat ini pemerintah Banten belum bisa membangun tempat seperti Rumah Dunia
Semoga, banyak orang yang belajar, berbagi, dan tumbuh bersama. Dan saya akan selalu jatuh cinta berkali-kali di Rumah Dunia.


