Oleh Jordy Alghifari Harris
Teman temanku sering bertanya kepadaku, “Bagaimana rasanya menjadi anak dari Gol A Gong dan Tias Tatanka? atau “Rasanya apasih menjadi keluarga Gol A Gong dan Tias Tatanka, apakah sama dengan keluarga lainnya?”
Pertanyaan pertanyaan seperti itu kerap aku dapatkan berkali-kali, meskipun aku sudah keluar dari tanah kelahiranku, Banten. Tapi pertanyaan itu selalu tidak bisa hilang atau aku bisa bilang tidak akan pernah hilang. Sebenarnya sama saja seperti keluarga pada umumnya, tapi tentu di setiap keluarga ada perbedaan masing-masing.
Aku merasakan, bahwa bagaimana cara mereka kepadaku tumbuh untuk hidup. Maksudnya tumbuh untuk hidup adalah: kami sebagai anaknya selalu diberi kebebasan dalam hal apapun dan harus bertanggung jawab dengan jalan yang dipilih.
Aku sebagai anak laki laki kedua. Aku memang paling nakal, tapi nakalku hanya sebatas merokok, minum, begadang. Tidak sampai menghamili perempuan, narkoba, obat obatan, atau yang sudah ke ranah hukum. Dengan aku yang begitu, cara orang tuaku menyikapinya dengan cara yang nyantai tapi kena mental sedikit.
Cara orang tuaku menyikapi anak-anaknya ketika nakal atau berbuat salah adalah diajak berdiskusi secara langsung. Makanya budaya keluarga kami setiap makan itu harus bareng bareng. Karena di moment moment itu terkadang digunakan untuk berdiskusi dan mencari akar permasalahannya apa, tanpa mencaci-maki ataupun menghakimi. Dengan cara seperti itu, aku bisa langsung belajar dan paham dengan kesalahanku tanpa merasa sakit hati.
Menurutku, itu baru salah satu rasanya menjadi anak Gol A Gong dan Tias Tatanka. Tanpa berniat membeda-bedakan, aku sangat bersyukur dilahirkan dari mereka karena dengan metode yang digunakan, aku bisa menghargai manusia tanpa menyakiti perasaannya. Mungkin suatu saat nanti jika aku sudah menikah, metode ini akan aku gunakan untuk keluarga kecilku. Atau kalian juga bisa menirukan metode ini di keluarga kalian nantinya.
*) Serang 14 April 2024, Penulis Mahasiswa Akademi Film Jogja
71
0
5
