
Awal menikah, saya agak syok dengan salah satu kebiasaan di keluarga suami saat berkumpul untuk makan. Sebenarnya di keluarga saya pun biasa makan bersama. Yang membedakan adalah suasana saat makan.
Di keluarga saya makan bersama dilalui cenderung dengan tenang, santai, sambil membahas yang ringan-ringan. Kadang kala almarhum Bapak bercerita tentang pekerjaannya memburu sumber berita. Atau Ibu yang menceritakan sebuah kejadian di kampung kami. Perbincangan di meja makan kami cenderung tenang dan adem ayem.

Namun, berbeda dengan keluarga suami, percakapan bisa menjadi riuh di meja makan. Kegembiraan, kesedihan, perselisihan, bahkan kemarahan bisa jadi topik pembicaraan. Awalnya saya sungkan dan merasa seperti terhimpit, dan hanya bisa jadi penonton dan pendengar. Sesekali keluarga suami bertanya pendapat saya, dan saya mengatakan hal-hal netral agar tidak berpihak.
Anehnya, keriuhan bahkan kekesalan yang mungkin timbul setelah makan dapat selesai begitu saja. Yang tadinya ribut berdebat kembali damai dan bisa tertawa bersama. Yang semula sedih dan marah langsung saling memaafkan. Suasana pun kembali biasa. Untuk masalah yang agak berat, biasanya almarhum mertua saya akan membuat pembicaraan khusus di luar saat makan.

Suami saya pernah membawa kebiasaan keluarga besarnya itu ke rumah kami. Saat belum punya meja makan, saya memanfaatkan meja setrika kecil sebagai gantinya. Dengan dialasi taplak anti air, hidangan makan sederhana di tata di atas meja.
Seingat saya saat itu saya sedang hamil anak kedua. Jadi kami masih keluarga muda dengan satu anak batita. Bisa dibayangkan kami masih hijau sekali di dunia rumah tangga.
Seperti biasa, suami makan sambil bercerita tentang kejadian di kantornya. Saya – seperti biasa – mendengarkan dengan baik.

Lantaran hamil muda, saya menjadi malas makan, sebisa mungkin lambung saya isi dengan makanan yang saya suka. Jadi ketika suami makan dengan masakan sehat yang saya siapkan, saya malah makan mie goreng instan.
Mungkin karena lelah bekerja, kemudian melihat istrinya makan seadanya, suami marah-marah. Sambil terus menyantap makanannya, omelan dan nasehat terus terucap. Sementara saya berhenti makan dan hanya mendengarkan. Pikir saya, bagaimana bisa menelan makanan di bawah omelan begitu.
Saat senggang, suami memanggil saya untuk mendiskusikan hal itu. Saya menangis karena merasa sedih. Suami juga sedih karena marah-marah, yang sebenarnya dipicu kekhawatiran kondisi saya dan janin. Akhirnya kami bermaafan.

Suami mengatakan lebih suka menggunakan momen makan bersama untuk membahas banyak hal. Sedangkan saya lebih suka momen makan bersama digunakan sebagai ajang bertemu dan saling tahu kabar. Dari dua hal itu akhirnya saya menerapkan jalan tengah. Suami masih bisa membicarakan hal-hal penting yang mungkin memunculkan konflik, tapi setelah makan selesai. Jadi momen yang cocok untuk menasehati anak, menegur kesalahan dan memeluk mereka adalah saat kami semua selesai makan.
Tapi sesekali kami lupa. Jika itu terjadi, tak ada hal lain yang sebaiknya dilakukan selain minta maaf kepada anak-anak dan kembali memeluk mereka dengan kasih sayang.

