
Oleh: Zaeni Boli
Waktu tiga atau empat jam tentu tak cukup untuk menuntaskan problem pendidikan di Flores Timur.
Sore, 23 April menjelang magrib, di Kantor Bupati Flores Timur diadakan FGD Pendidikan yang membahas permasalahan dunia pendidikan di Flores Timur. Undangan dari Pemda Kabupaten Flores Timur menghadirkan tokoh-tokoh penting dunia pendidikan. FGD ini dipimpin langsung oleh Bupati Flores Timur, Antonius Doni Dihen, dan wakilnya, Ignasius Boli Uran.
Beberapa undangan yang hadir di antaranya: Muhammad Soleh Kadir, Ahmad Bethan, Silvester Petara Hurit, Maria Carvalho, Romo Ancis, Frans Berek, perwakilan IGI dan Plt PGRI, serta pengawas SMK dan SMA Kabupaten Flores Timur. Sementara itu, Maksimus Maksan Kian dan Damsil Tukan hadir secara daring melalui Zoom.
Banyak hal dibahas dalam FGD ini. Mengacu pada surat undangan yang diberikan, terdapat empat poin yang menjadi agenda diskusi:
A. Gambaran keadaan dan perkembangan empat aspek: aksesibilitas, kualitas, relevansi, dan tata kelola.
B. Kerja sama dengan Google Indonesia dan perkembangan digitalisasi sekolah.
C. Rencana tematik karakter bulanan.
D. Rencana Future School.
Ada banyak hal menarik yang disampaikan peserta FGD. Salah satunya datang dari kepala sekolah SMPK St. Isodorus, yang memaparkan inovasi-inovasi sekolahnya—mengantarkan sekolah ini berprestasi tak hanya di tingkat kabupaten atau provinsi, tetapi juga nasional.
Berbeda dengan Muhammad Soleh Kadir (Pion Ratuloli) yang menyoroti temuan lapangan soal literasi dasar di sekolah-sekolah Flores Timur yang masih perlu diperkuat. Sementara itu, Silvester Petara Hurit mengangkat isu kebudayaan dan warisan budaya yang penting untuk dipelajari kembali. Ia menekankan pentingnya menjadikan budaya sebagai titik awal pembelajaran mitigasi kebencanaan—di mana dalam cerita maupun literatur lama, hal-hal seperti itu sudah dimetaforakan, misalnya dengan “ular merah besar yang meruntuhkan tanah.”

Dari banyaknya pemaparan yang menarik, dalam sesi terakhir, perhatian saya terganggu oleh dua kali penyampaian Bupati—meski terkesan disampaikan sambil lalu—yang menyinggung tentang dunia kerja. Ia mengatakan bahwa dalam banyak penelitian, lulusan SMK justru banyak yang belum terserap dalam dunia kerja.
Saya mencoba mencari data untuk menguatkan pernyataan itu, dan ternyata ditemukan fakta menarik sekaligus menjadi tantangan tersendiri.
Data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) oleh Badan Pusat Statistik (BPS):
- Agustus 2023: Tingkat pengangguran lulusan SMK secara nasional tercatat sebesar 9,42%. Ini merupakan yang tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya.
- Agustus 2024: Meski mengalami sedikit penurunan, TPT lulusan SMK masih tertinggi, yaitu 9,01%. Sebagai perbandingan, TPT lulusan SMA adalah 7,05%, Diploma I/II/III sebesar 4,83%, dan Diploma IV/S1/S2/S3 sebesar 5,25%.
- Februari 2024: TPT lulusan SMK tercatat sebesar 8,62%, masih lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA (6,73%) maupun perguruan tinggi.
Wow, pokoknya. Sebuah masalah yang butuh jalan keluar.
Lalu, kira-kira apa masalahnya?
Adapun beberapa penyebabnya adalah:
- Kesenjangan Keterampilan (Skill Gap): Kurikulum SMK mungkin belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan industri saat ini. Bisa jadi keterampilan yang diajarkan kurang relevan dengan teknologi dan praktik kerja terkini. Perusahaan kini mencari kandidat dengan keterampilan spesifik yang bisa langsung diterapkan.
- Kurangnya Pengalaman Praktis: Meskipun SMK dirancang untuk membekali siswa dengan keterampilan praktis, sering kali porsi praktik di sekolah belum cukup mendalam atau tidak sesuai standar industri. Perusahaan lebih menyukai kandidat yang sudah punya pengalaman kerja nyata, bahkan jika itu hanya magang.
- Persaingan yang Ketat: Jumlah lulusan SMK tiap tahun cukup banyak, menciptakan persaingan yang sengit untuk posisi entry-level. Apalagi, lulusan SMA, bahkan diploma atau sarjana, juga melamar di posisi yang sama.
- Kurangnya Jaringan (Networking): Jaringan profesional sangat berperan penting dalam proses pencarian kerja. Banyak lulusan SMK yang belum memiliki akses ke jaringan ini.
Itulah beberapa tantangan yang dihadapi lulusan SMK. Namun sebagai pendidik, kita mesti tetap optimis bahwa peserta didik kita mampu beradaptasi dan bertahan dalam dunia kerja yang terus berubah.
Saran yang disampaikan oleh Bupati Antonius Doni Dihen pun relevan—yakni membuka lapangan kerja baru jika memungkinkan. Selain itu, penguasaan keterampilan abad ke-21 menjadi hal yang mutlak, sebagai bekal menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks dan menuntut skill yang siap pakai.

