Oleh: Moh Fauzi

Kesederhanaan, keberanian, rendah hati serta ketulusan, hanya itu yang di miliki oleh seseorang yang bernama Cak Dlahom

Buku “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” karya Rusdi Mathari adalah salah satu karya yang wajib dibaca oleh kalangan anak muda. Selain menawarkan kisah-kisah inspiratif, buku ini juga memberikan wawasan baru yang sebelumnya mungkin belum diketahui, sekaligus mengasah intelektualitas. Awalnya, buku ini merupakan seri tulisan yang dimuat di situs web Mojok. co selama dua tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2015 dan 2016.

Ketika pertama kali saya membaca buku ini, saya merasakan seolah-olah sedang menyaksikan sebuah pertunjukan drama yang berlangsung di depan mata saya sendiri. Pengalaman itu membuat saya merenungkan setiap bagiannya secara berulang, seakan-akan saya bisa menjeda drama tersebut ketika saya masih bingung dengan kisahnya.

Meskipun Cak Dlahom tinggal di kandang kambing dan hanya mengenakan sarung serta kopyah, beliau bukanlah sosok sembarangan. Ia seolah menjadi cermin yang memantulkan realitas hidup dengan cara yang unik. Terkadang perilakunya membuat kita tertawa, namun ada kalanya juga mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Justru dari tingkah lakunya yang “tak biasa” inilah, kita dapat menemukan makna-makna yang sering kita abaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Cerita Romlah: Segelas Air dan Segenggam Garam

Suatu hari, seorang gadis berusia 29 tahun bernama Romlah datang menemui Cak Dlahom gadis itu adalah seorang anak dari temannya Cak Dlahom. Romlah menghadap Cak Dlahom dengan sebuah masalah yang cukup membebani pikirannya: ia sering ditanya oleh warga sekitar dan bahkan oleh ayahnya sendiri, “Kapan kamu akan menikah?” Pertanyaan-pertanyaan itu menambah tekanan dalam hidupnya, sehingga ia merasa perlu mencari solusi.

Setibanya di rumah Cak Dlahom, Romlah justru diberikan tugas yang tidak terduga. Ia diminta untuk mengambil segenggam garam dan menyiapkan segelas air. Setelah itu, Cak Dlahom menyuruhnya untuk mencampurkan garam tersebut ke dalam gelas air dan meminumnya. Ketika Romlah menyelesaikan tugas tersebut, Cak Dlahom bertanya tentang rasa air yang diminumnya. “Asin, Cak,” jawab Romlah.

Kemudian, Cak Dlahom meminta Romlah untuk mengambil segenggam garam yang lain dan membawanya ke sebuah danau. Setibanya di danau, ia diperintahkan untuk melemparkan garam itu. Setelah itu, Cak Dlahom kembali meminta Romlah untuk meminum segelas air dari danau tersebut. Dengan penuh rasa penasaran, Romlah meminum air dan berkata, “Segar, Cak. “

Romlah, pada dasarnya, masalah dan persoalan manusia itu serupa: hanya sekepal tangan. Layaknya garam yang baru saja kamu genggam. Hidup bisa terasa berat atau ringan, tergantung pada bagaimana seseorang menempatkan hatinya. Kita bisa saja hanya seperti air dalam gelas, atau bisa juga seluas air telaga.

Hidup bisa terasa berat atau ringan, tergantung pada bagaimana seseorang menempatkan hatinya.

Cak Dlahom

Intinya, bukan tentang seberapa besar masalah yang kita hadapi, melainkan seberapa besar hati kita dalam menerima dan menghadapi semua itu. Terkadang, hidup tidak selalu membutuhkan jawaban yang instan; yang lebih penting adalah kita memiliki sudut pandang yang lebih leluasa dan nyaman.

Nasehat yang disampaikan oleh Cak Dlahom kepada Romlah terasa sangat santai, menenangkan, dan menyentuh hati. Hal ini membuat Romlah mampu mengembalikan ketenangan dalam pikirannya. Inti dari nasehat Cak Dlahom adalah, “Sebuah masalah tidak akan menjadi masalah jika tidak dipermasalahkan. “

Filosofi Nasi Sisa: Belajar Tentang Cukup dan Rendah Hati

Di lain cerita suatu sore menjelang magrib, saat waktu berbuka puasa tiba, Cak Dlahom diundang untuk menikmati santapan di rumah Pak Lurah. Jamuan yang disajikan sangat mewah, dengan hidangan lezat seperti ayam bakar, ikan gurame, sambal terasi, dan buah – buahan. Namun, ada hal yang mengherankan; Cak Dlahom tidak langsung melahap makanan yang terhidang di meja. Ia justru meminta sesuatu yang berbeda.

“Ibu, apakah ada nasi sisa dari kemarin? Jika ada, saya lebih memilih itu,” ujarnya dengan sopan kepada tuan rumah.

Keberadaan Cak Dlahom di sana membuat semua orang bingung, bahkan ada yang menahan tawa. Pak Lurah pun bertanya dengan wajah heran, “Lho, Cak. Ini semua makanan enak. Kenapa kamu justru mencari nasi sisa?”

Cak Dlahom hanya tersenyum dan menjawab perlahan, “Karena saya hanyalah tamu yang sekadar lewat, bukan seorang raja. Jika semua orang berebut makanan yang lezat, lalu siapa yang mengajarkan hati untuk merasa cukup? Nasi sisa terkadang jauh lebih berharga karena mengajarkan kita untuk menghargai, bukan hanya memilih.”

Saya merenung saat membaca buku karya Rusdi Mathari yang berjudul “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya”. Dalam momen renungan tersebut, saya menyadari masih banyak kekurangan dalam hidup saya. Namun, setelah menyelesaikan buku ini, hati saya terasa lebih terbuka.

Belajar dari “Orang Gila” yang Menyentuh Jiwa

Buku ini telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik dari sebelumnya melalui cerita-cerita inspiratif dari Cak Dlahom. Pertama, saya belajar tentang nikmatnya bersyukur. Cak Dlahom tidak merasa malu meski hidup di kandang kambing.

Kedua, dia menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa; di tengah banyaknya makanan lezat, Cak Dlahom lebih memilih nasi sisa orang lain yang masih layak.

Ketiga, keberaniannya dalam melihat dunia dengan cara yang “berbeda” telah membuka mata saya terhadap berbagai perspektif yang selama ini saya abaikan.

Keempat, ketulusan yang dimiliki Cak Dlahom (Mon atè leggu, orèng se atè teppa nyamana) artinya: “Jika hati kita lapang, orang lain akan merasa nyaman berada di dekat kita.”

Meskipun Cak Dlahom terkadang dianggap kurang waras, gadis bernama Romlah tidak pernah merasa takut dekat dengannya. Justru, berada di dekat Cak Dlahom membuat hati terasa tenang, damai, dan nyaman.

“Buah yang kulitnya busuk belum tentu isinya juga busuk.” Peribahasa ini menggambarkan sosok Cak Dlahom, yang meskipun sering dianggap kurang waras, gila, dan aneh, sesungguhnya memiliki hati yang sangat mulia. Bahkan, orang yang dianggap waras pun belum tentu memiliki kebaikan hati seperti yang dimiliki Cak Dlahom.

Setelah saya menelusuri setiap halaman dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, saya menyadari bahwa Cak Dlahom memiliki sudut pandang yang menarik. Ia seperti seorang ulama yang telah “Wero‘”, istilah dalam bahasa Madura yang menggambarkan seseorang yang benar-benar memahami agama Islam, dalam fikiranya hanya akhirat dan hanya ada Allah seorang dalam hatinya. Sehingga dunia tak lagi menarik baginya.

Sebagai orang Madura, saya merasa sangat bangga mengetahui bahwa kami tidak hanya dikenal dengan sifat keras di mata orang-orang luar. Di balik itu, terdapat juga sikap rendah hati yang ditunjukkan oleh para ulama dan sufi asli Madura, seperti yang dikemas dengan cerita-cerita Cak Dlahom, dalam buku “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya”

“Langghu’ atellor, tak-andar dhur” makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa lebih baik bersikap rendah hati, tenang, dan tidak mencolok. Lebih baik merasa malu namun tetap menjadi diri sendiri daripada merasa malu karena kesombongan.

Kita semua dapat menyadari bahwa banyak orang di luar sana yang merasa memiliki pengetahuan yang cukup, mengklaim diri mereka sebagai yang paling pintar, paling hebat, dan selalu benar. Dalam keadaan demikian, mereka sering kali lupa bahwa mereka hanyalah hamba biasa yang penuh dengan kekurangan.

Semakin tinggi ilmunya, semakin banyak kebenaran yang dapat dilihat dari orang lain. Semakin tinggi makrifatnya, semakin sedikit ia melihat kesalahan orang lain

Syekh Nawawi Al-Bantani
Identitas Buku:

Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Penulis: Rusdi Mathari
Tahun Terbit Pertama: 2016
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan ke-9, Mei 2020
Genre: Buku
Halaman: 226
Harga: 68.000 (Pulau Jawa)

Tentang Penulis:

Moh. Fauzi lahir di Bangkalan pada 12 Oktober 2000, tepatnya di Desa Poter sebuah desa kecil yang sederhana namun penuh makna. Saat ini, ia menempuh pendidikan sebagai mahasiswa semester akhir di STKIP PGRI Bangkalan. Pada tahun 2023, ia terpilih mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Universitas Negeri Gorontalo. Fauzi memegang teguh cita-cita untuk menjadi pribadi yang sukses dan mampu memberi manfaat bagi banyak orang.

RAK BUKU  adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 1000 kata. Honor Rp100 ribu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku, penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5