
Aku mulai rajin membaca setelah tangan kiriku diamputasi pada 1974 (kelas 4 SD). Itu karena omongan Bapak, “Jika kamu membaca, kamu akan lupa berlengan satu.” Bapak langganan koran Kompas dan Suara Karya, majalah Intisari, Femina, HAI, Gadis, dan Bobo. Aku senang membacai cerita bersambung dan cerpennya. Cerbung di Kompas mantap-mantap. Aku membaca karya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk) di Kompas.


Sewaktu di SMP, Bapak menyuruhku untuk menulis ulang apa yang aku baca di koran dan majalah. Menjiplaknya. Tapi dengan mengubah nama-nama tokohnya, lokasi, dan pertistiwanya. Sebagai contoh cerbung Karmila karya Marga T, yang dimuat bersambung di Kompas tahun 1970-an. Aku kutip paragraf pertamanya:
“Namanya Karmila. Dari keluarga baik-baik. Dan dia percaya meskipun tidak tahu, bahwa Faisal berasal dari keluarga baik-baik. Mereka berjumpa di sebuah pesta di rumah saudara misan Ana.”


Kemudian saya melakukan penjiplakan seperti yang disarankan Bapak:
Natalia, namanya. Dari keluarga yang hancur. Dan dia percaya meskipun tidak tahu, bahwa Burhan berasal dari keluarga yang hancur juga seperti dirinya. Mereka berjumpa di pesta ulang tahun Riska, sahabat Natalia.
Begitu yang aku lakukan saat di SMP. Tapi Bapak dengan keras dan tegas berpesan, “Ingat, tidak boleh dikirimkan ke media massa, karena itu menjiplak namanya.”

Tanpa sadar, keterampilan menulisku terlatih dengan cara menjiplak. Aku menulis naskah sandiwara radio pada kelas VI SD (1975) dan memproduksinya dengan radio transistor. Di SMP (1977), membuat komik – menulis naskah dan menggambarnya juga sambil aktif berlatih badminton. Di SMA (1980-82) puisiku di muat di majalah HAI dan juara ke-2 badminton tinggkat SLTA (juara pertama tangannya dua) se-Banten.
Di SMA pulalah aku membuat majalah yang berisi cerpen dan puisi sambil berlatih-tanding badminton ke beberapa kota di Jawa Barat dan Lampung. Aku sendiri yang menulis cerpen dan puisinya dengan berbagai nama. Bahkan gambarnya, aku ilustratornya juga.


Setelah itu, aku banyak membaca buku-buku Balai Pustaka dan terbitan Gramedia dan mendatangi pasar buku murah di Senen Jakarta dan Palasari Bandung. Sehari bisa 1 buku. Mulailah mengenal penerbit lain seperti GIP, Grafiti Pers, Hasta Mitra, Yudistira…

Sejak kuliah di Fakultas Sastra UNPAD (1982-85), uang bulananku cepat habis karena dibelikan buku dan kaset musik rock. Waktuku dihabiskan di perpustakaan Dipati Ukur dan Cikapundung, juga traveling ketimbang di ruang kuliah. Mulailah mengenal Iwan Simatupang, Putu Wijaya, caping Goenawan Mohamad, Leila S Chudori, Pramoedya Ananta Toer, Budi darma, YB Mangunwijaya, Remy Sylado, Putu Wijaya, NH Dini, dan penulis non fiksi lainnya. Juga Karl May, Chekov, Papilon, Hemingway, Tolstoy, Shakespeare, Hesse, Nietzsche, Goethe, Paul I. Wellman, Eiji Yoshikawa, Rumi, dan sastrawan dunia lainnya.

Ketika mulai memutuskan jadi penulis dan wartawan di Kelompok Kompas Gramedia, secara naluriah aku jadi tahu ketika menulis sebuah karya itu pernah ditulis orang atau tidak. Aku melakukan pemetaan. Soalnya jika aku menjiplak karya orang, akan sangat sulit bagiku untuk membantah karena orang-orang dengan mudah menuduhku sebagai pembaca. Sangat sulit untuk berkelit dengan mengatakan “aku belum pernah membacanya”. Aku lebih suka karyaku dicaci-maki sebagai karya sampah (selalu ada kompos di setiap sampah) ketimbang karyanya bagus tapi dituduh menjiplak.


Karyaku yang Serial Balada Si Roy (BSR) adalah bentuk eksperimenku dalam menulis novel, yaitu selalu menyertakan puisi atau quote dari para filsuf. Itu secara konsisten aku lakukan di hampir seluruh karya fiksiku. Itu adalah komitmenku memasyarakat puisi secara luas. Secara gamblang aku umumkan, bahwa BSR terpengaruh Ali Topan (Teguh Esha), Musashi (Eiji Yoshikawa), Jules Verne, Kar May (Winnetou-Old Shaterhand), Paul I. Wellman (Jim Bowie), Rob Roy (Walter Scott), dan Don Quixote (Miguel de Cervantes). Jadi terpengaruh, bukan menjiplak.


Kemudian saya baru menyadari ketika membaca buku “Menulis Secara Populer” (bukunya hilang) karya Ismail Marahimin sekitar 1994-95. Ternyata apa yang Bapak lakukan itu adalah teknik Copy the Master atau kegiatan meniru dari seorang yang sudah ahli. Teknik copy the master juga pernah saya lakukan ke beberapa relawan Rumah Dunia yang tinggal di rumah belakang. Mereka saya mintain tolong mengetik ulang novel-novelku (aku beri uang jajan). Setelah selesai, aku ajak dia berdiskusi. Dengan cara seperti itu, mereka jadi terampil menulis.


Kini profesi menulis jadi lebih terbuka dan menantang. Aku beberapa kali menemukan karya yang sebetulnya menjiplak. Ketika jadi juri lomba menulis juga, banyak yang menjiplak. Aku sering menyebutnya “tukang bangunan”, yaitu menyusun karya orang di paragraf-paragrafnya dengan mengakui karya sendiri. Sebetulnya untuk menghindari kasus penjiplakan adalah dengan cara mendirikan komunitas, menyelenggarakan kelas menulis, penerbitan buku , peluncuran dan bedah bukunya. Itu aku lakukan di Rumah Dunia. Aku menjamin, para penulis jebolan Rumah Dunia tidak akan menjiplak.

Apalagi setelah kemunculan AI (Artificial Intelligence), beberapa penulis konvensional mengeluh. Secara pribadi, aku menyambut baik kehadiran AI. Aku memanfaatkan AI untuk membuat ilustrasi gambar. Sedangkan untuk menulis, aku sudah memiliki AI versiku sendiri, yaitu: membaca buku. sebelum AI muncul, AI-ku adalah perpustakaan. Aku membaca. Jadi AI itu ibarat “khodam”.
Jadi, pada akhirnya, sebuah karya menjiplak atau tidak, hanya si penulisnya yang tahu (bahkan, bisa jadi tuhannya saja tidak tahu). Auk ah, gelap.
Selamat berkarya, kawan.
Gol A Gong

