
Meminjam bineka cerita yang dibawa sejarah hingga ingatan tua di kepala orang tua kita, tak ubahnya kalam yang abadi pun patut dimuseumkan dalam beberapa puisi tematik Indonesia dan problematikanya. Ragam PR mengakrabi kaul rezim yang bersetia jadi probabilitas dan awas di mata masyarakat. Gunting pita konfrontasi dimulai dari benak yang ramai khusyuk doa dan rimbun impian anak-anak marhaen. Ini tentang strategi hidup yang bajik di negara yang kaya, tapi masih banyak menyimpan enigma di saban jazirahnya.
—Vania Kharizma Satriawan.

oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Berlimpahnya Cemas di Benak Kita
i.
menujum nasib di belikat petang,
sore-sore gemeretak garu memecah hening yang panjang,
mendaraskan mimpi yang pukah:
doa-doa yang terbelangah
mendahaga ijabah
di sela mak risau menyeka linang berupaya tabah,
dan gelebah bapak melarasi alif-lam-mim di mekar sajadah.
masihkah mampu harapan bertiarap di tebing kehidupan, mak?
terjalnya bagai pisau menyesah mori mengafani angan
yang enggan limbung di lahad keterpurukan.
akankah impi martir begitu gegas, pak?
ingarnya angin tiada ragu menumbang ingin
yang urung disedekahi amin di penghujung zamin.
ii.
menadabur pertanyaan-pertanyaan
buat ribuan lusa yang ‘kan berhelat:
akankah hasrat meledakkan pidato ter-asu
melaung-laung begitu saja dalam badan?
toh bisa saja kami aumkan kesumat,
yang terlampau tua bersemayam di hayat
kini renta sebagaimana nihil hak-hak ulayat
dan doa yang tak ubahnya relikui seutas wasiat.
haruskah masa-masa yang ‘kan tandang
tekun menyuakakan kami dilimpahi kecemasan?
Karanganyar, 2025
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Membaca Golgota di Mata Anak-Anak Marhaen
i.
khidmat doa ibu menebus khianat yang bapak janjikan di akhir pekan,
waktu ia tempatkan harapan di mungil mata anak-anaknya:
“pekan esok kita makan enak!”
“pekan esok kita belanja banyak!”
… dan segalanya,
sekadar kendara mengantarkan mereka pada ratapan,
bapak berpaling merunut ketabahan, menjeda segala bentuk kesedihan
ketika beliau pulung hak, mengaisnya sebagai sebuah sujud yang taat.
tiada pauk hari ini, tiada kenyang sore nanti,
anak-anak riuh menuguri televisi berharap bala derma berkunjung.
dan segalanya,
sekadar cita-cita yang dungu.
ii.
Mereka tak lagi berharap sesering dulu,
siang menjelang petang, anak-anak sekadar memainkan layangan
“melayangkan haru ibu, mungkin?”
atau, manakala suara tak terus-terusan dilahap mentah-
bisa saja yang gigantis tak lagi dengki dari matinya adil di negeri,
tapi harapan yang timbul perlahan.
… dan segalanya sekadar dalil dari votum panggung retorika
“di mana mereka boleh meneroka mimpi, jika hak dioposisi dan memintanya-
ialah hal yang subversif?”
sempat suatu pagi yang gigil, seorang paling diam-
di antaranya mengabsen air mata dalam jiwa negeri:
“mengapa kehidupan kita hanya sekotak akuarium?”
dan segala ambisi mereka,
tak ubahnya barisan naif terpahit
seperti hak yang gemar berkelindan dengan segala lengkara di negeri mereka,
menabung harapan yang ramai nidera dalam mata anak-anak marhaen
dan bersarang tenteram sebagai sebuah golgota.
Surakarta, 2025
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Keadilan di Mata Penjaja Nyawa
di antara pejam nayam dan belangah jiwa yang berduka,
kusaksikan peristiwa perah nyawa, menunggu masa Tuhan mengiba.
i.
dari jazirah matamu,
tampak kau memberai riang yang berkisah
dari gelak tawa bocah-bocah metropolitan
kala kau wartakan lagi rentetan balada
yang dibawa pulang jiranmu
meninggalkan nama
menanggalkan tanya
serta segala gelisah yang
bermukim di kubang air mata:
sudikah Tuhan menaruh trenyuh-Nya jua?
selepasnya,
kusaksikan belasan wajah memukah gulita
mendaras nasib yang ibu tayangkan di langit mata
mempersoalkan sebab wira menyabung detak jantungnya
demi menjeremba merdeka yang dimau moyang,
kini beralih yang dimau pemangku takhta.
ii.
dari semenanjung matamu,
tampak kau bertirakat sembari merajut dendam
menjadikannya gaun perhelatan kesumat pun serapah
mendesak terijabahnya doa yang disyairkan darah
dan linang intifadah
selepas rampung kusaksikan juga
bapak yang diacungi bedil tiap kali menagih adil
dan gala ibu yang dicengkeram hingga lebam menanyakan:
mengapa rezim tampak enggan merevisi sila pemungkas
bila realisasi mesti kita dapat melalui lontaran sarkas?
dan selepasnya,
kusaksikan di punca masa
sekerumun penjaja nyawa di sana
dipaksa menggalas berlinang air mata
sambil menadaburi betapa takdir menganaktirikannya
dan menyerapahi tadbir yang gemar mencipta pitam.
iii.
dari tanjung matamu,
tampak ketenteraman begitu rimba,
kau terkulai sebagai syuhada seluruh lara
menggandar bakul berisi kecaman ketidakadilan,
demi kau beli adil yang dijual itu,
demi kau borong kesetaraan hidup.
setelahnya, sinaran kota yang jamak gemerlap
kembali menyingkap kedua nayamku,
menyaksikan teluk matamu
yang rimbun akan tanya:
seperti apakah rupa keadilan itu?
apakah bagai serdawa yang kita dengar dari lekum penguasa,
atau nyala pandang kita yang bersetia meratap di enas bentala?
Solo, 2024
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
1924
i.
apakah kita mampu meresumekan harapan?
ini kali kau lautkan impian yang sempat karam di perigi kepalamu,
ini kali kau layarkan doa yang sempat bersauh di selebu hatimu.
3 kuplet, bilangan ulangan dan irama lagu 6/8
membesarkan harapan bagi anak-anak raflesia.
ada pula tokoh-tokoh, merahimkan muasal juangmu
Sumarno, Tabrani, Bahder Djohan, Paul Pinontoan
dan Sumarto.
kau tak pernah berandai bila abad ‘kan
menobatkan dirimu jadi serdadu bahadur;
kau tak pernah berandai bila abad ‘kan
menyejarahkan kekeliruan tanggal lahirmu;
kau tak pernah berandai bila tanggal kematianmu
jadi memoar, jadi perayaan dirgahayu bangsamu.
ketika beranjak tujuh tahun kemudian
kau tak pernah berandai
—hari kemerdekaan
tiba setelahnya.
ii.
apakah kita mampu meresumekan harapan?
tembang-tembang doamu membesarkan api di mata rakyat
kau tunaikan abdimu menumbuhkan kembang-kembang di dada rakyat
agar mekarlah harapan, agar rekahlah keriaan anak-anak nusantara.
tetapi, kau tak sempat bernapas
di tengah harapanmu yang jadi nyata
ketika riuh-ramai lagumu dikumandang
merayakan kemerdekaan yang kau damba
sejak 1924.
Surakarta, 2024
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Mendengar Detak Agonia dari Isak Mereka
Di antara nganga telinga dan belangah petang meremang gulita,
ada sumyi begitu anarki mengidungkan balada penuh khidmat duka
penuh merdu khusyuk doa.
i.
Melankoli ilalang liar di jembar pesara wira telah rampung kudengar
kala gaduh limbubu mengaduhkan nama-nama yang tak dikehendaki suaranya
yang tak dimaui berisiknya, sejak mereka yang dikecam tak lagi meyakini tadbir
—mampu menata takdir bangsa.
hanya ada gelebah yang gembar-gembor melisankan luka bagai ingar mitraliur
menggunturkan selaksa riuh yang bergemuruh di jiwa dan kerap melantur seperti:
“adakah pejuang yang tumbang dalam penerbangan
menuju Amsterdam lagi?”
“adakah buruh pabrik yang diculik selepas
mengkritik upah murah tak manusiawi lagi?
dan segalanya,
mereka sekadar kuasa mecermati kepatuhan maut melucuti usia
menimbun tubuh gerilyawan di sepanjang sungai menghanyutkan air mata
yang muskil berlengkesa oleh gersang surya dan beringas baskara.
ii.
Elegi Petrus dan abad kelam kian melengkingkan tangis anak-anak bramacora
syafaat pun zikir bini tak jua meriba ijabah Tuhan selain berita kemangkatan tiba
dan mereka tetap egois, tak sudi membuni ironi.
hanya ada kecemasan yang saban malam igaukan intimidasi yang bertubi
tentang mereka yang menyerukan pinta demi sejahtera meski dianggap agitasi
seperti:
“ke mana larinya bapakku yang dicap gali?”
“apa benar ia turut terbantai tanpa diadili?”
“dan apa benar palu yurisdiksi nirguna?”
“atau hukum yang memang buas?”
dan segalanya,
mereka sekadar membunyikan dendam yang bersemayam di dada
ketika kesunyian berbicara lebih banyak, sekerumun veteran sekadar mengiba menyiasati kebiadaban memorak-porandakan hidup yang semestinya tenang kini mesti berkubang dalam linang yang menggenang.
Persimpangan Gatsu Solo,
2024.
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Membaca Leimena dari Mata Natsir
“Jangan bung, ingat cita-citamu dulu: nasionalis, agama, komunis!”
—ujarmu,
Ridwan Saidi saksinya,
kau bermufakat pada kesetiakawanan
semenjana negerimu masih didaulat ambara
kau bela kawanmu dari amuk yang merajai bangsa
bertawakal menderma damai, sebab bagimu nusantara mestilah esa.
Menadaburkan takwamu seperti membaca Darsono dan Parinusa
kau piawai dalam bertoleransi, kau taat dalam menghormati bineka
bagiku kau wira yang menakzimkan kedamaian membumi di pertiwi
sebab kredo pela bagimu tak bisa ditawar, tak bisa ditawan
—itu harga mati.
Kaupeluk agamamu khusyuk mengakrabi akidahku yang bertauhid
kau tandaskan senjang menafikan beda antara kita yang karib dan baid
Leimena, baktimu ialah saksi, Ridwan Said dan aku jua saksi
—bahwa kau patriot dan kawan yang setia
: mencintai negeri begitu sani.
Karanganyar, 2023
oOOo

Puisi Vania Kharizma Satriawan
Mendaras Negeri
i.
dihadapkannya pada wajah anak-anak tadabur
: dilema probabilitas,
dan segala kemungkinan
yang patut jadi wasangka ;
persoalan-persoalan hierarki dan lambang pluralis
tertampak tekun disoalkan anak-anak nasionalis,
yang saban gurat matanya––
menajamkan ketumpulan takdir
sebagaimana keadilan masihlah nadir
(barangkali) diimplementasikan.
ii.
dihadapkannya pada wajah anak-anak mangu
: dilema kewaspadaan,
dan segala yang divalidasi
jadi sebuah ketakaburan nasib
seakan mewejangkan pada kehidupan
… tegarnya anak-anak proletar ;
prasangka-prasangka yang dilabel subversif
tampak patuh bercokol di kepala anak-anak bangsa,
yang siangnya terngiang akan keniscayaan dahaga,
sebab pagi mereka sekadar disuap gizi
untuk lila memafhumi kehidupan nan fani.
iii.
dihadapkannya pada wajah anak-anak bahadur
: gelora harap yang menjelma pawaka,
melawan nidera,
lengkara tumbang tandas ;
segala yang membara di mata anak-anak bangsa
tak lain mimpi yang berpanji masa depan
: cita-cita yang ditanam jadi pohon kekar,
tak terombang-ambingkan gagahnya deru
biarpun tubuhnya secuil tunas,
tapi peringatan akan lahirnya begitu bernas harap
melunaskan segala yang sempat hirap
jadi semarak kebebasan tekad.
Surakarta, 2022
oOOo

oOOo


TENTANG PENULIS: Vania Kharizma Satriawan lahir pada tahun 2003 di Kota Surakarta. Merupakan mahasiswi aktif Ilmu Hukum Universitas Slamet Riyadi. Menjuarai beberapa kompetisi puisi, salah satunya Juara 1 Cipta Puisi Tingkat Internasional Festival Sastra Mursal Esten IX yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang. Beberapa puisinya telah dimuat di BeritaBaru.co dan RCTI+, SIP Publishing, menginspirasi puisi bertema Guru di Kumparan.com, Detik.com dan CNN Indonesia. Sapa Vania melalui surel: vaniakharizmasatriawan@gmail.com / Instagram: @vaniakharizma.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya.

Btw, ini tulisan yang bikin “aha moment” sih. Bisa banget lanjut bahas bareng-bareng di Kanal.id — komunitas online yang asik buat ngobrolin topik kreatif.