
Kopi hangat yang menemaniku tak dapat memecahkan dinginnya hujan. Walaupun hujan tak menyentuh jasadku, hujan dapat menggores hati seorang perjaka kesepian ini. Entah kenapa di umur yang menginjak kepala tiga belum ada gadis yang kulirik. Apa aku terlalu fokus mencari lembar-lembar uang? Atau kisah romansa cinta yang dulu begitu kelam? Yang jelas aku tak mau mengingat masa lalu itu.
Kucoba menyeruput kopi kedai langgananku. Terasa sedikit berbeda dengan kedai-kedai kopi lain. Ada rasa khas yang tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Mungkin ini penyebab aku rajin menyambangi kedai tersebut hampir setiap hari. Baik hanya untuk bersanding dengan kopi. Maupun ditambah dengan makanan ringan ataupun kue.
Diluar masih hujan lebat. Tapi malam terus berlanjut tak dapat dihentikan. Sial aku terjebak di sini. Walaupun aku pulang menggunakan roda empat. Yang pastinya tak terjamah oleh jatuhnya rintikan hujan. Akan tetapi, rasa malas untuk pulang mulai menyerangku.
Duduk ditemani kopi saja terasa hampa. Apalagi tinggal beberapa kali teguk habis minuman ini. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju meja pemesanan.
“Mau pulang Pak Anton?” Ujar Robi, pemilik kedai ini. Akrab betul aku dengan dirinya.
“Ohh gak. Saya mau pesen kopi arabica yang biasa sama stick kentang goreng.” Jawabku. “Oke ditunggu.”
Aku kembali ke tempatku berasal. Menunggu pesanan yang sudah kuberikan. Sembari menikmati pemandangan di dalam kedai yang cukup luas. Mungkin muat untuk sepuluh keluarga kecil. Suasana di dalam cukup ramai. Mungkin karena hujan yang menahan kami untuk tidak cepat meninggalkan tempat ini.
Tak selang beberapa lama, datang seorang gadis berkulit putih dengan rambut diikat ke belakang membawa nampan. Ia menuju ke arah mejaku. Siapa gadis cantik itu? Apakah dia pegawai baru? Sejak kapan Robi mau menerima pegawai? Biasanya dia hanya mau bekerja sendiri. Walaupun seramai apapun kedai ini, ia hadapi sendiri.
Semakin ia dekat denganku, semakin kencang pula laju detak jantungku. Hingga tiba saatnya ia berada di depan mejaku. Menaruh secangkir kopi dan sepiring stick kentang goreng yang tadi pesan di mejaku. Setelah semuanya berada di meja, kemudian ia senyum kepadaku. Aku seperti orang dungu yang tak bisa apa-apa. Hanya memelirik dan membalas senyumannya. Hingga tak terasa ia sudah berlalu. Walaupun ia sudah tak terlihat dengan mata ini, ia meninggalkan sesuatu hal yang aneh. Yang mengganjal benak perjaka tua ini. Apakah aku harus berkenalan untuk menghilangkan perasaan ini? Tapi aku tak kuasa tuk menghampirinya. Ah sudahlah. Lebih baik kuseruput lagi kopiku ini.
Hujan mulai reda. Kopi dan kentangku pun habis. Saatnya aku harus pulang. Aku kembali menghampiri Robi untuk membayar semua apa yang sudah aku nikmati. Kecuali perasaan yang diberikan gadis itu.
“Semua berapa?” Tanyaku.
“Seperti biasa lah, tiga lima saja.”
“Ngomong-ngomong gadis tadi itu siapa? Bukankah kau ingin bekerja sendiri?” Tanyaku penasaran dengan sedikit ngotot.
“Dia Siska. Teman dari keponakanku. Katanya ia lagi butuh uang untuk membayar uang kuliahnya. Karena aku kasian kuterima saja.”
Puas dengan jawaban Robi, aku bergegas keluar menuju mobilku yang sudah kedinginan di luar. Kepacu kendaraan ini menuju rumah.
Setelah pertemuanku dengan gadis itu. Aku semakin rajin mampir ke kedai Robi. Bahkan pada waktu makan siang pun aku paksakan tuk menyambanginya. Bukan kopi tujuan utamaku pergi ke kedai. Tapi gadis berparas cantik yang digadang-gadang bernama Siska itu menjadi tujuaku. Sehari tidak melihat wajahnya bagaikan sehari tidak minum kopi. Hidup terasa hampa. Dunia kehilangan perhiasannya untuk dinikmati.
Sudah setahun lebih aku melakukan hal konyol ini. Lalu apa yang aku peroleh darinya? Tentu tidak ada. Jika bertemu dengannya aku hanya diam dan menikmati wajahnya. Ingin menyapa tapi lidahku kelu bagaikan bocah yang baru mengenal cinta. Setahun ini tak ada kemajuan. Jika saja aku memberanikan diri meminta nomor handphonenya, pasti dia akan menganggapku lebih dari pelanggan kedai. Baiklah, yang sudah berlalu tinggalkan. Ini saatnya aku mencoba melakukan.
“Siska?” Panggilku.
“Iya. Ada yang bisa dibantu, Pak?”
“Ehh, tidak ada kok.”

Setelah kalimat terakhir keluar dari mulutku, Siska langsung pergi dengan senyum kepadaku sebagai oleh-olehnya. Ah, bodohnya aku. Kenapa hanya itu saja yang terucap. Entah kenapa ada aura mistik jika aku berhadapan dengannya. Tapi di sisi lain aku merasa bahagia. Suatu kemajuan aku dapat memanggil namanya secara langsung. Biasanya aku hanya memanggilnya dari kejauhan saat aku hendak terlelap.
Keesokan harinya aku datang untuk coba keberanian ini. Apakah ada kemajuan atau hanya diam terpaku melihat wajahnya. Kupesan secangkir kopi sebagai alasanku berada disini. Tak beberapa lama Robi mengantarkan pesananku. Kemana Siska? Mungkin saja dia sedang sibuk, kucoba tuk menunggu. Setelah menunggu lama Siska tidak terlihat batang hidungnya. Aku mencoba kembali bersabar sembari mengumpulkan keberanianku. Menit demi menit terbuang sia-sia. Kopi sebagai alasanku menunggunya sudah habis. Hilang sudah rasa sabar ini. Aku bergegas keluar dan melanjutkan pekerjaanku.
Setiap hari aku mengunjungi kedai Robi. Berharap bertemu kembali dengan Siska. Tapi sudah dua minggu aku tak menjumpainya. Dimana dia sekarang? Pertanyaan itu yang selalu muncul di benakku. Aku tak kuat menahan rasa ini.
Pada suatu saat rasa ini menggelora. Menjadi bahan bakar untuk melakukan sesuatu. Aku tak tahu cara menahan perasaan ini setiap hari bahkan setiap saat. Mungkin ini saatnya aku beraksi.
“Ngomong-ngomong Siska kok gak pernah kelihatan?” Tanyaku kepada Robi.
“Kemarin-kemarin dia pamit katanya sedang gak enak badan. Mungkin kalo sudah sembuh dia akan kembali.”
Sudah puas perasaanku. Mendengar penjelasan Robi penasaranku terbayarkan. Walaupun aku tahu apa yang terjadi, aku tak mampu melakukan apa-apa. Hanya doa yang kupanjatkan sekenanya untuk kesembuhan Siska. Hati ini terasa kosong jika tak bertemu dengannya. Mungkin cukup membayangkan wajahnya untuk sedikit memuaskan rasa ini.
Setiap hari kutunggu kedatangannya. Hingga aku lupa kesibukan mencari lembaran uang. Sekarang aku hanya sibuk duduk di kedai Robi untuk menunggu kopi. Bukan kopi sebenarnya, tapi pengantar kopinya. Siska gadis itu maksudku.
“Kau tak datang ke pemakaman Siska?” Tanya Robi kepadaku sembari mengantarkan kopi hangat itu.
“Kapan? Dimana?” Sebenarnya ada pada dirinya, aku sangat penasaran. Menunggu jawaban Robi.
“Kemarin. Rumah dia di jalan Merpati di daerah Serpang. Dia sakit terkena TBC.” Ucap Robi dengan suara semakin lirih.
Aku terdiam tak tahu harus berkata apa.
oOo


Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Kompas Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi. Nomor Hp/WA. 083126620440. Facebook : Bagus Sulistio.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:
