Belakangan ini, kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia sedang berguncang dengan kuat. Aksi-aksi responsif atas kasus-kasus pelecehan agama, pembakaran bendera berkalimat tauhid, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan keagamaan lainnya marak diberitakan di pelbagai media massa, baik cetak maupun daring. Kehidupan beragama di negeri majemuk ini tengah menemui titik tegang.
Kilasan sejarah tak hanya bisa ditemukan dalam buku-buku sejarah, tetapi juga dalam buku-buku puisi. Sejarah yang tertulis dalam buku-buku sejarah agaknya kebanyakan sama: Ia ditulis berdasarkan urutan rentangan waktu yang terstruktur, lengkap dengan para tokoh dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Namun sejarah yang terkandung dalam buku-buku puisi nampaknya berbeda: Ia ditulis dengan, tentu saja, cita rasa berbahasa yang khas, dan sangat bisa jadi sang penulis seperti ikut terlibat dalam peristiwa sejarah itu, meski pada realitasnya ia hidup di masa yang berbeda. Sejarah terjadi di masa lampau, dan si penyair hidup di masa kini. Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan puisi teranyarnya yang bertajuk Tigris (DIVA Press, 2019) memperlihatkan itu.
Sesampainya di kontrakan, saya mengingat-ngingat buku-buku terkait dengan Kota Serang yang saya koleksi. Tiba-tiba, saya teringat buku kumpulan cerpennya Toto ST Radik berjudul Sokrates atawa Telunjuk Miring di Kening yang terbit tahun 2013 (tahun ke-6 hari jadi Kota Serang) – pada 10 Agustus 2022 tahun ke-15. Saya langsung membuka halaman cerpen berjudul Gigi dan Goyang Dombret.
Sesungguhnya sesuatu yg tampak itu berasal dari sesuatu yang tidak tampak. Buku ini dikemas untuk menyentuh, mengetuk, mengangkat, membantu serta membuka kesadaran mata hati yang ada dalam diri agar Anda sadar dan tidak tertidur lelap.
Saya terpesona pada sebuah pantai bernama Pangandaran dari sebuah cerita pendek (cerpen) yang ditulis Eka Kurniawan dalam bukunya yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Bentang Pustaka, 2015).
Secara garis besar, buku dalam kumpulan cerpen Ruth ini berkisah tentang masa-masa di sekolah. Tentang cinta, patah hati dan semacamnya. Meski memang tak seluruhnya bicara soal itu. Buku ini merupakan gabungan dari 15 penulis yang masih berstatus pelajar SMA di Kota Serang yang mengikuti kelas menulis Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Banten bersama saya. Membaca kumcer Ruth seperti membaca kenangan saat SMA.