Saya pribadi, herannya, semasa dua belas tahun sekolah dari SD, SMP, hingga SMA, termasuk orang yang ‘tidak suka’ dengan kepramukaan. Semasa sekolah dulu, pramuka saya ikuti yang ‘wajib-wajibnya’ saja. Misalkan mengenakan baju seragam cokelat muda-cokelat tua pada harinya. Paling malas kalau sudah harus ikut kegiatannya, seperti baris-berbaris, sandi-sandi, dan lainnya.

Namun ada satu pengalaman berkesan selama ikut-ikutan berpramuka ria tersebut. Kalau tak salah semasa kelas 1 SMA di SMAN 1 Garut. Karena kegiatan perkemahan wajib diikuti oleh semua siswa kelas 1, saya pun ikut. Kalau tak salah, waktu itu kami mengadakan Perjumsa di Lapang Mangkubumi, di daerah Tasikmalaya.

Pada saat itu, saya dan para Pramuka putra atau boyscout sedang merangkak kayak kadal di atas tanah, dengan mata tertutup blindfold, kepala dan seluruh tubuh saya terinjak anak-anak putri yang berbaris, juga dengan kepala tertutup. Bayangkan kacaunya situasi waktu itu. Ya sakit, seru, taoi gak boleh teriak. Saya tahan saja, karena kakak-kakak pembina galak-galak. Sebenarnya bukan karena takut, saya merasa gengsi saja, kalau harus mengaduh sakit.

Setelah 20 tahun saya jadi guru ABK, saya merasa menyesal juga, gak aktif di kepramukaan. Saya menilai kepramukaan merupakan salah satu pelajaran yang penting bagi anak-anak dalam hal melatih kemandirian, mencintai alam dan lingkungan, kerja sama dalam pemecahan masalah, pembiasaan disiplin, serta memancing ruang kreativitas. Oleh karena itu, saya menilai bahwa pramuka tetap relevan dan penting di era milenil dan digital ini.

Hanya saja, herannya, saya pribadi masih tetap merasa kurang suka dengan kepramukaan ini, kecuali kegiatan berkemahnya. Eheheheheh. *

Agus Hefli Rahman

Please follow and like us:
error36
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia