Dermaga itu masih seperti dulu: beton retak dan tangga miring yang enggan diinjak. Maria tahu, selama dermaga belum diperbaiki, harapan menjual tenun di kampung sendiri …
Cerpen Sabtu: Tenun yang Tak Pernah Usai Karya Refael Molina

Menulis Online, Menangkal Hoaks
Cerita Kita

Dermaga itu masih seperti dulu: beton retak dan tangga miring yang enggan diinjak. Maria tahu, selama dermaga belum diperbaiki, harapan menjual tenun di kampung sendiri …

Tidak ada yang benar-benar memperhatikan hari Selasa, kecuali kau tiba-tiba kehilangannya dari hidupmu dan orang lain mulai menjalaninya untukmu, dengan cara yang jauh lebih baik …

Cerpen Warung karya Gol A Gong menggambarkan kehidupan sebuah kampung kecil di Indonesia yang diguncang tragedi. Persaingan dua warung memicu rasa iri, pertengkaran, hingga kematian tak disengaja. Melalui tokoh Kiya, tetua kampung, cerita ini menyampaikan pesan tentang rezeki, syukur, dan bahaya iri hati yang bisa meruntuhkan persaudaraan.

Darmin menggigil dengan kepala menunduk dalam. Setiap kata yang diucapkan sang istri menghantam logika dan perasaannya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah korban. Dia bukan pahlawan yang gagal. Dia hanyalah sekrup yang terlepas — membuat seluruh mesin keluarganya runtuh.

Kak Sinta membuka warung kecil-kecilan tak terlalu jauh dari bengkel Ramses – suaminya. Nia istriku sering membantunya, sekedar menemani berbelanja atau menemani di warung saat senggang. Terkadang Kak Sinta membawakan sedikit makanan saat Nia kembali ke rumah.

Hari demi hari Udin semakin rajin beribadah. Tetangganya bahkan melabelinya sebagai calon ustadz. Untuk ukuran anak seusianya dan di kampung itu, Udinlah anak yang paling pintar ilmu agamanya. Selain lancar menghafalkan doa-doa pendek, Udin juga menghafalkan beberapa surat pendek di Al Quran.

Keduanya terus melangkahkan kaki. Sebelum memasuki pintu masuk Hutan Larangan, keduanya berjalan menurun di jalan setapak. Tetua berjalan dengan kecepatan seperti berjalan di jalan yang datar karena sudah terbiasa. Lain halnya dengan Erwin yang amat hati-hati berjalan, menjadi lambat, tidak mau tergelincir, dan ini berkibat Erwin sering tertinggal.

Dua tahun lalu, tepat di tempat aku berdiri, ada seseorang yang mengajakku menyusuri pasarbunga. Waktu itu, aku menanggapinya setengah hati. “Apa sih serunya ke pasar bunga?” tanyakumalas.

Suamiku melihat itu dengan raut yang sulit kuartikan. Mungkin dia malu, mungkin juga lega. Tapi aku tidak peduli. Yang penting, kami bisa tetap makan dan Hisyam tetap sekolah.

Setelah kalimat terakhir keluar dari mulutku, Siska langsung pergi dengan senyum kepadaku sebagai oleh-olehnya. Ah, bodohnya aku. Kenapa hanya itu saja yang terucap. Entah kenapa ada aura mistik jika aku berhadapan dengannya. Tapi di sisi lain aku merasa bahagia. Suatu kemajuan aku dapat memanggil namanya secara langsung. Biasanya aku hanya memanggilnya dari kejauhan saat aku hendak terlelap.