Ketika duduk lesehan di Malioboro, terdengar bunyi “joss” megiris hati. Arang dimasukkan ke kopi mendidih, seolah tbuh kita yang meradang di antara ketidakadilan.

Gong mencoba mencari-cari ke persoalan rakyat jelata, bagaimana mereka mengimbangi ekonomi liberal dan perilaku koruptif di negeri ini. Puisi “Kopi Joss” yang tergabung dalam antologi puisi Air Mata Kopi (Gramedia, 2014) – yang masuk 10 besar Hari Puisi Indonesia 214, adalah sebuah paradoks.

Selamat menyeduh kopi joss. Rasakan mengiris-iris hati Apakah manis, pahit, atau terasa air mata kopi para petani kopi di negeri ini? >> ke halaman berikutnya >>