
Di ujung tahun 2024, kegiatan sebagai Duta Baca Indonesia hanya beberapa saja. Di bulan Desember ini tinggal 2 kegiatan; di Bekasi dan bersama Puisi Esai Network di TIM, Jakarta. Inilah situasi dimana saya bisa lebih banyak duduk menulis di ruang kerja. Di momen inilah Tias – istri saya, menyeduhkan kpi terbaik tanpa gula. Saya menyeruputnya, “Arrrghhhhh…” Pahitnya memang belum bisa mengalahkan ketika sedang minum kopi di Lut Tawar, Takengon, Aceh.

Saya lahir tahun 1963. Ketika remaja, 1979-1982 di Kota Serang, Banten, tidak ada tradisi kopi. Apalagi membicarakanya. Saat itu yang keren adalah nge-bandrek. Jika malam Minggu, anak muda Serang nongkrongnya di depan penjara, Magersari-Pocis – ada nasi rabeg di situ. Kuliner lainnya nge-bandrek di Kebon Jahe, Cijawa. Juga nasi sum sum di Kebaharan, Unyur. Di sela-sela itu, saya nimbrung ngeganja dan minum alkohol bersama geng motor yang sedang marak meniru Bandung.

Saat itu saya sedang menjalani proses kreatif menulis Balada Si Roy. Memang belum ada bayangan tentang judul novel yang akan saya tulis. Tapi saya sudah menyiapkannya. Saya pembaca cerita bersambung di koran KOMPAS sehingga terobsesi ingin menulis cerita bersambung juga. Saya mencatat semua yang saya alami; saya mencatat soal badminton, orang cacat, geng motor, kuliner Banten, sejarah Banten, bahkan persoalan ganja dan alkohol.


Di rentang waktu masa SMA, antara 1980-1982, saya menemukan pengalaman puitik yang agak aneh, yaitu orang minum kopi. Saya saat itu sedang aktif jadi atlet badminton, tentu minuman wajib di pagi hari 2 telor ayam atu bebek, susu, dan madu. Pertama kali saya melihat peritiwa orang minum kopi itu di warung persis di mulut jalan komplek guru di mana saya tinggal, yaitu di jalan Yusuf Martadilaga – di depan SMPN 8 sekarang. Dulu sekolah itu namanya SKKPN Serang – ibu saya Kepala Sekolah di sana.

Sebelum saya berangkat ke sekolah, biasaya nongkrong dulu di sana, ngobrol bersama pemilik warung asal Tasikmalaya – Mang Emis, namanya. Dia tidur di warung berupa kios kotak, yang melintang di selokan utama jalan Yumaga itu. Dengan selembar tikar, saya sering melihat dia tidur meringkuk berdesakan dengan segala macam barang – suatu waktu saya pernah diamankan Mang Emis tidur di situ saat mabuk. Di pagi hari itulah Mang Emis yang suka nebeng mandi di rumah, duduk di pintu gerbang rumah Bu Uswa – di halaman rumah inilah saya jatuh dari pohon dan harus diamputasi pada 1974. Anak Bu Uswa adalah teman masa kecil dan remaja. Bahkan tempat duduk di pintu gerbang rumahnya jadi markas kami.


Setiap pagi peristiwa minum kopi Mang Emis saya rekam di benak. Bahkan Kang Dadi – penyiar radio Maritim, putra laki-laki Bu Uswa paling tua yang mengajari saya selera musik dan perempuan, ikut nonkrong ngopi. Kemudian saya diberi tahu, bahwa kopinya itu dicampur minuman beralkohol Johny Walker. Betapa nikmat melihat Mang Emis dan Kang Dadi ngopi dengan siatuasi yang berbeda. Yang satu karena menghemat tidak punya uang untuk sarapan, satu lagi ke gaya hidup.
Kemudian saya menemukan lagi warung kopi yang lain, persis di depan bioskop Merdeka, Royal – sekarang dengan bodohnya bioskop Merdeka itu diratakan dan berganti ruko serta ATM Center. Setiap malam hingga subuh warung kopi itu buka; warung berupa 2 meja yang disusun jadi huruf L dengan 2 bangku panjang. Ada menu tambahan, nasi uduk dan ketan. Pelanggannya tukang becak. Tapi kami – geng motor, sering nimbrung ngopi di situ, yang dicampur minuman beralkohol.

Sesekali saya datang sendiri ke warung kopi itu. Saya minum kopi dengan tukang becak tanpa mencampurnya dengan alkohol seperti jika sedang bersama geng motor. Kopi tubruk yang luar biasa pahit. Mereknya kopi cap kupu-kupu dan gentong. Perayaan ngopi dengan kaum proletar ini sangat puitis dan saya catat di hati dan pikiran. Saya memang sedang mengisi ceruk batin saya untuk menyiapkan diri jadi penulis. Saat SMA saya penggemar cerita bersambung di koran KOMPAS – Bapak berlangganan Kompas dan Suara Karya. Saya terkesan dengan cerita bersambung Karmila (Marga T), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), dan Eddy D Iskandar.


Sekarang di setiap sudut kota Serang bermunculan cafe yang menghidangkan menu kopi dengan cita rasa espresso atau Americano. Saya sering mencari-cari kenangan itu dengan kedua mata basah. Sulit saya temukan lagi pristiwa puitik itu. Ada cafe impor di pertigaan Jalan Judhi atau di depan Lintong, Pocis, Pasar Lama, hanya sesaat aroma kenangan itu muncul. Betul kata Imam Ghazali, “Masa lalu itu jauh, sangat jauh dan kita tidak akan mungkin bisa kembali.”

