
Oleh: Naufal Nabilludin
Setelah dua minggu di Lombok, akhirnya saya memutuskan untuk menyeberang ke Bali. Keputusan ini tidak diambil dengan mudah—budget saya sudah semakin menipis, dan ada banyak pertimbangan sebelum akhirnya saya naik kapal dari Pelabuhan Lembar menuju Padang Bai. Tapi, ada sesuatu dalam diri saya yang berkata, “Kamu harus ke Bali. Sekalipun hanya sebentar.”
Baca juga: Menyebrang ke Bali: Antara Budget Ketat dan Keinginan yang Kuat
Dan begitulah, saya menginjakkan kaki di Bali untuk pertama kalinya. Namun, kenyataannya tidak seperti yang saya bayangkan. Dengan budget yang sangat terbatas, saya harus mengesampingkan beberapa rencana besar yang sudah saya susun.


Tidak ada Tari Kecak di Uluwatu, tidak ada Patung Garuda Wisnu Kencana yang megah, dan tidak ada petualangan di Nusa Penida. Beberapa tempat yang selama ini saya impikan untuk dikunjungi harus tetap berada dalam daftar keinginan, menunggu waktu yang lebih tepat.
Meski begitu, saya tetap menikmati setiap momen yang ada. Saya menghabiskan waktu di Pantai Kuta, duduk di tepi pantai, merasakan pasir hangat di antara jari-jari kaki, dan menatap matahari perlahan tenggelam di cakrawala.

Di Discovery Mall, saya menyaksikan pertunjukan yang menyenangkan, hiburan yang mengisi sore saya. Kemudian, di Museum Bali, saya belajar banyak tentang budaya dan sejarah pulau ini—sebuah pengalaman yang memberi saya perspektif baru tentang Bali, di luar pantai dan tempat wisata populernya.
Namun, jujur saja, ada sedikit rasa belum tuntas. Saya ingin lebih. Saya ingin berdiri di bawah Patung Garuda Wisnu Kencana, merasakan betapa megahnya karya seni yang menjulang setinggi 120 meter itu. Berjalan menyusuri Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal dengan kebersihannya dan atmosfer damai yang katanya bisa membuat siapa saja jatuh cinta.

Menikmati matahari terbenam dari tebing Pura Uluwatu sambil menyaksikan Tari Kecak yang legendaris juga masih menjadi impian yang belum terwujud.
Saya juga ingin merasakan serunya berbagai aktivitas air di Pantai Tanjung Benoa—merasakan adrenalin saat mencoba jet ski, parasailing, atau mungkin sekadar menaiki banana boat bersama teman-teman. Selain itu, saya ingin mengunjungi tempat konservasi di Pulau Penyu, melihat dari dekat bagaimana penyu-penyu hijau dilindungi dan dirawat sebelum dilepas kembali ke laut.

Lalu, ada satu tempat yang rasanya akan sangat menenangkan untuk dikunjungi—Tirta Gangga. Saya membayangkan berjalan perlahan di antara kolam-kolam berisi ikan koi besar, melompati batu-batu berpola yang tertata rapi di air, dan merasakan suasana kerajaan kuno yang begitu damai. Air mancur bertingkat di tengah taman istana itu pasti memberikan sensasi magis, seolah membawa saya kembali ke masa lalu.
Saat ini, saya hanya bisa menuliskan keinginan-keinginan itu, menjadikannya sebagai afirmasi positif. Saya percaya, suatu hari nanti saya akan kembali ke Bali dengan kondisi yang lebih baik, dengan budget yang cukup untuk mengunjungi tempat-tempat impian saya.
Saya membayangkan pagi yang sejuk di Pura Ulun Danu Beratan, melihat bayangan pura yang terpantul di permukaan danau. Saya ingin merasakan ketenangan saat menjalani ritual melukat di Pura Tirta Empul, membiarkan air suci menyentuh kepala saya, seakan mencuci semua beban pikiran.

Dan tentu saja, perjalanan ke Nusa Penida masih menunggu. Melihat langsung keindahan Pantai Kelingking yang sering saya lihat di foto-foto, mencicipi seafood segar di Pantai Jimbaran dengan deburan ombak sebagai latar belakang, hingga berjalan santai di Ubud Monkey Forest, menyaksikan tingkah monyet-monyet yang dikenal jahil, adalah pengalaman yang masih saya nantikan.
Saya tidak tahu kapan atau dengan siapa saya akan kembali ke Bali. Tapi saya percaya, suatu hari nanti, saya akan melangkahkan kaki lagi di pulau ini dengan hati yang lebih lega, tanpa harus menghitung setiap rupiah dalam dompet saya.
Hingga saat itu tiba, biarlah tulisan ini menjadi doa dan harapan—sebuah janji kecil kepada diri sendiri bahwa perjalanan ke Bali belum benar-benar selesai.



