
Oleh: Moh. Fauzi
Orang yang merasa cukup dengan apa yang ia miliki adalah orang yang kaya.
Lao Tzu, filsuf China,
Yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah orang yang kaya hati—pandai bersyukur atas apa yang telah dimiliki serta menerima dengan lapang dada apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Jika seseorang bangun dari tidurnya di pagi hari dalam keadaan sehat, dari ujung kaki hingga ujung kepala, dapat melaksanakan salat lima waktu, serta memiliki makanan hingga ia tidur lagi, maka seakan-akan dunia berada dalam genggamannya.”
Begitu dahsyatnya kekuatan bersyukur atas segala yang telah diberikan oleh-Nya. Kemarin, saya bersilaturahmi dengan guru-guru saya. Dalam perbincangan tersebut, sebagian besar pembahasannya tidak jauh dari cara kita bersyukur.
Jika ingin bahagia, kita harus bersyukur. Hal ini sebenarnya sangat sederhana untuk dilakukan, tetapi mengapa banyak orang menganggap kebahagiaan hanya bisa diraih dengan lebih banyak uang, barang, atau pencapaian?
Gus Baha pernah menjelaskan bahwa manusia tidak akan mati hanya karena tidak memiliki rumah mewah atau kendaraan mewah. Namun, manusia bisa mati jika tidak memiliki makanan. Lalu, mengapa masih banyak orang, khususnya Muslim, yang merasa belum cukup?

Menyikapi fenomena ini, sebagai Muslim, kita harus berhenti sejenak dan merenungkan lebih dalam tentang tujuan serta makna kehidupan dalam bingkai ajaran Ilahi yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ:
مِنَ ٱلإِسْرَافِ أَنْ تَأْكُلَ مَا ٱشْتَهَيْتَ
Artinya: “Salah satu ciri berlebihan (al-isrāf) adalah jika Anda makan setiap apa yang Anda inginkan.” (HR Ibnu Mâjah)
Maksud dari hadis ini dalam konteks makanan adalah jika kita makan terlalu banyak, maka dapat menimbulkan berbagai penyakit. Sebaliknya, jika kita kekurangan gizi, tubuh juga menjadi rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan sangat penting agar kita tidak melampaui batas dan berlebihan dalam mengonsumsi atau menggunakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kita.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 31:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus setiap kali memasuki masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Ayat ini mengajarkan kepada kita pentingnya kesederhanaan, keseimbangan, dan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya: “Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah hati yang merasa cukup.” (HR Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah ra.)

Dari Al-Qur’an dan hadis di atas, dapat disimpulkan beberapa ajaran Nabi Muhammad ﷺ tentang kesederhanaan:
1. Hidup di dunia layaknya seorang musafir
Salah satu prinsip hidup sederhana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah agar kita menjalani kehidupan di dunia seperti seorang pengembara yang hanya singgah untuk beristirahat.
2. Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan
Porsi makan manusia idealnya adalah sepertiga perut untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga sisanya untuk udara.
Nilai-nilai hidup sederhana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ harus kita tanamkan dalam hati agar bisa bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Mengamalkan gaya hidup sederhana tetap membutuhkan pengelolaan keuangan yang baik. Kamu bisa mengalokasikan hartamu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Jangan lupa bersyukur hari ini, ya! Selamat berbahagia dengan bersyukur di bulan yang penuh berkah ini.
