“Akhirnya kalian sampai!” Tante zulaeha menyambut kami dengan senyum hangat yang tak sepenuhnya mencapai matanya. Ada guratan-guratan lelah di wajahnya yang tak kuingat ada dulu. “Ayo masuk, kalian pasti capek.”

Rumah panggung tua itu masih sama – cat putihnya yang mengelupas di sana-sini, tangga kayu yang berderit setiap diinjak, dan aroma kayu cendana yang selalu mengingatkanku pada liburan masa kecil. Tapi kali ini ada yang berbeda. Rumah itu terasa… menunggu.

Persiapan acara syukuran kelahiran si kembar – Zahra dan Zafran – sudah dimulai sejak kami tiba. Para tetangga berdatangan membawa berbagai hidangan dan peralatan. Di Gorontalo, acara seperti ini adalah urusan satu kampung, bukan hanya keluarga. Tapi di tengah kesibukan itu, ada satu hal yang mengganjal.

“Mana Om Tomi?” tanyaku pada Ibu saat kami sedang membereskan kamar tamu.

Ibu terdiam sejenak, tangannya yang sedang melipat selimut terhenti. “Ada urusan katanya,” jawabnya singkat. Dari nadanya, aku tahu ada yang tidak beres.

Malam pertama di rumah tua itu menjadi awal dari rentetan kejadian yang akan menghantuiku seumur hidup. Aku terbangun tengah malam karena lapar – efek jet lag membuatku melewatkan makan malam. Suara tokek bersahutan menciptakan simponi mencekam saat aku mengendap-endap ke dapur.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu depan membuatku membeku. Pukul 23:45 – siapa yang bertamu selarut ini? Anehnya, tak ada yang terbangun oleh suara sekeras itu. Kuputuskan untuk mengabaikannya, tapi rasa penasaranku menang. Dari celah papan lantai, aku bisa melihat ke beranda bawah.

Tak ada siapa-siapa.

Keesokan paginya, jeritan membangunkan seisi rumah. Tetangga sebelah kehilangan bayinya yang baru lahir semalam.

“Kalumba,” bisik para tetangga dengan wajah pucat. “Dia sudah kembali.”

“Kalumba?” tanyaku pada Ibu.

“Ssst!” Ibu menempelkan telunjuk di bibir. “Jangan sebut nama itu sembarangan. Dia bisa mendengar.”

Dari percakapan-percakapan yang kutangkap, Kalumba adalah makhluk halus berwujud kambing. Konon, ada keluarga-keluarga tertentu di Gorontalo yang memeliharanya, menukar jiwa keluarga mereka dengan kekayaan dan kekuasaan.

Malam berikutnya, tangisan si kembar memecah keheningan. Zahra dan Zafran menangis tak terkendali, tubuh mereka panas tinggi. Tante zulaeha panik, terus membacakan ayat-ayat suci sambil memeluk keduanya.

“Sudah kubilang jangan menikah dengan keturunan Hasuru!” Nenek yang baru datang dari kampung tiba-tiba memecah ketegangan. “Lihat sekarang! Mereka mengincar cucu-cucuku!”

Keturunan Hasuru? Om Tomi?

“Apa maksud Nenek?” tanyaku pelan.

Nenek menghela napas panjang. “Keluarga Hasuru… mereka punya perjanjian turun-temurun dengan Kalumba. Tiga generasi yang lalu, kakek buyut Tomi membuat kesepakatan – kekayaan dan umur panjang dengan bayaran nyawa anak-anak dalam keluarga. Setiap generasi, Kalumba akan mengambil satu anak sebagai tumbal.”

“Tapi kenapa Om Tomi tidak ada di sini? Ini kan acara untuk anak-anaknya?”

“Karena dia pengecut!” Nenek menggeram. “Dia tahu waktunya sudah dekat. Kalumba selalu mengambil anak kembar – karena jiwa mereka lebih kuat.”

Malam itu, aku memberanikan diri mengintip lagi saat ketukan itu terdengar. Kali ini, aku melihatnya – sosok tinggi besar dengan kepala kambing dan mata merah menyala.

Pagi berikutnya, Zafran ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Tak ada bekas luka, seolah jiwanya menguap begitu saja dalam tidur. Tante zulaeha histeris, sementara Zahra masih terbaring lemah dengan demam tinggi.

“Ini semua salahku,” Tante zulaeha terisak di pemakaman. “Aku sudah diperingatkan tentang kutukan itu. Tapi aku terlalu mencintai Tomi… terlalu buta untuk melihat kebenaran.”

“Dimana Om Tomi sekarang?” tanyaku lirih.

“Entahlah,” jawab Tante sambil mengusap air mata. “Sejak tahu aku mengandung anak kembar, dia mulai berubah. Sering menghilang berminggu-minggu. Kadang pulang dengan bau aneh seperti kandang kambing. Lalu suatu malam… dia menghilang begitu saja.”

Zahra akhirnya selamat. Tante zulaeha membawanya pindah ke Jakarta, memutuskan semua hubungan dengan masa lalu. Rumah tua itu kini terbengkalai, menyimpan kisah kelam yang tak ingin diingat siapapun.

Bertahun-tahun kemudian, aku masih sering terbangun oleh mimpi yang sama – mata merah menyala menatap dari celah papan, dan suara ketukan yang tak pernah berhenti. Kadang aku bertanya-tanya, apakah Om Tomi masih ada di luar sana? Ataukah dia telah sepenuhnya menjadi bagian dari kegelapan yang telah memilih keluarganya?

Di Gorontalo, orang-orang masih berbisik tentang Kalumba. Tentang sosok tinggi besar berkepala kambing yang kadang terlihat di tepi hutan saat bulan purnama. Tentang bayi-bayi yang menghilang, dan keluarga-keluarga yang membayar harga keserakahan leluhur mereka.

Dan jika kau berkunjung ke sana, dan mendengar ketukan di pintu saat tengah malam… jangan pernah, sekalipun, membukanya.

Tapi cerita ini belum sepenuhnya berakhir.

Setahun setelah kepindahan Tante zulaeha ke Jakarta, aku memberanikan diri kembali ke Gorontalo. Ada sesuatu yang mengganjal, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Kutemui Pak khafid, tetua kampung yang konon mengetahui seluk beluk sejarah keluarga Hasuru.

“Kau berani datang ke sini?” tanyanya dengan mata yang menembus jauh. “Setelah apa yang terjadi?”

“Saya perlu tahu kebenarannya, Pak. Tentang Om Tomi… tentang Kalumba.”

Pak Khafid menghela napas panjang, menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum mulai bercerita. “Tomi bukan orang pertama dalam keluarganya yang mencoba melawan takdir. Kakaknya, Hassan Hasuru, juga pernah mencoba. Dia menolak memberikan anaknya pada Kalumba. Tahu apa yang terjadi?”

Aku menggeleng.

“Keluarga Hassan ditemukan tewas seminggu kemudian. Semua. Termasuk anjing peliharaan mereka. Hanya Hassan yang selamat, tapi dia tidak pernah sama lagi. Menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa, terus menggambar sosok kambing dengan mata merah di dinding-dinding.”

“Tapi kenapa harus anak kembar?” tanyaku.

“Karena jiwa kembar itu istimewa. Mereka seperti cermin – satu jiwa yang terbagi dua. Kalumba menginginkan kekuatan itu. Dan dalam kasus Zahra dan Zafran…” Pak Khafid terdiam sejenak, “…ada sesuatu yang lebih mengerikan.”

“Apa maksud Bapak?”

“Tomi tidak menghilang begitu saja. Dia mencoba melakukan ritual untuk memutus perjanjian leluhurnya. Ritual kuno yang membutuhkan pengorbanan darah keturunannya sendiri. Tapi dia gagal. Dan kegagalan dalam ritual seperti itu… memiliki harga yang mengerikan.”

Pak Khafid kemudian menunjukkan sebuah foto usang. Foto Om Tomi waktu kecil, berdiri di depan rumah panggung yang sama. Di belakangnya, samar-samar terlihat sosok tinggi besar dengan tanduk. “Kalumba sudah mengikuti keluarga ini sejak lama. Setiap generasi, selalu ada yang mencoba melawan. Dan setiap kali itu terjadi, hukumannya semakin berat.”

“Zahra… apakah dia aman di Jakarta?”

Pak Khafid menatapku dengan sorot mata yang sulit kubaca. “Tidak ada yang benar-benar aman dari Kalumba jika darah Hasiru mengalir dalam nadinya. Tapi selama Zahra tidak kembali ke Gorontalo… mungkin dia punya kesempatan.”

Malam itu, dalam perjalanan pulang, sopir taksi menceritakan kisah yang membuat bulu kudukku berdiri. Tentang sosok tinggi besar yang sering terlihat di sekitar hutan pada malam-malam tertentu. Sosok yang kadang terlihat menggendong sesosok kecil di bahunya.

“Yang aneh,” kata sopir itu, “makhluk itu selalu memakai kalung yang sama seperti yang dipakai Tuan Tomi dulu. Dan kadang… kadang orang-orang mendengar suara tangisan bayi dari arah hutan, diikuti suara mengembik kambing.”

Sejak malam itu, aku tak pernah kembali ke Gorontalo. Tapi kadang, dalam mimpi-mimpiku yang paling gelap, aku masih melihat Om Tomi. Berdiri di ambang pintu dengan mata merah menyala, kalung di lehernya berkilau ditimpa cahaya bulan, tangannya terulur seolah ingin menggapai sesuatu – atau seseorang.

Dan di Jakarta, Zahra tumbuh menjadi gadis cantik yang tak mengenal masa lalunya. Tapi setiap malam bulan purnama, dia selalu terbangun menangis. Mengatakan ada suara kambing yang memanggilnya pulang.

Kutukan Kalumba, sepertinya, tak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya menunggu, sabar dan lapar, sampai generasi berikutnya dari keluarga Hasuru lahir ke dunia ini. (*)

TENTANG PENULIS: Saya seseorang yang mencintai dunia tulis menulis. Kesehari saya sebagai content writer di salah satu media, juga aktif menghasilkan karya sastra berupa cerpen. No kontak 085294280599.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Honor Rp. 200 ribu dari Ditjen Kebudayaan, Kemdikburistek RI. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia