Kritik Sosial Tradisi Kawin Tangkap dalam Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Oleh Endah Novitasari

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo (Gramedia Pustaka Utama, 2021) menghadirkan kisah getir seorang perempuan asal Sumba yang berusaha melepaskan diri dari belenggu tradisi kawin tangkap atau Yappa Mawine. Tradisi ini memungkinkan pihak laki-laki menculik perempuan untuk dijadikan istri, dengan alasan mempercepat proses pernikahan adat yang sering kali memakan biaya besar dan waktu lama.

Meski ada keluarga yang telah bersepakat sebelumnya, tak jarang penculikan dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga perempuan. Setelah korban dibawa, keluarga biasanya tak punya pilihan selain menerima kesepakatan adat.

Tokoh utama novel ini adalah Magi Diela, seorang sarjana pertanian yang baru lulus dari Yogyakarta. Ia pulang ke kampung halamannya di Sumba dan bekerja sebagai pegawai honorer di Kantor Dinas Waikabubak, sembari menunggu seleksi CPNS. Magi memiliki cita-cita besar: membangun tanah kelahirannya dengan ilmu pertanian yang ia dapat dari Pulau Jawa. Namun, impian itu hancur ketika ia mengalami hari naas.

Dalam perjalanan menuju kelompok tani, Magi diadang sekelompok pria tak dikenal dan diculik ke Kampung Patakaju. Di sana, ia diserahkan kepada Leba Ali, lelaki kaya berpengaruh yang sudah dikenalnya sejak kecil. Bagi Magi, Leba Ali adalah sosok mata keranjang yang sejak lama membuatnya muak karena sering menyentuh tubuhnya saat masih kecil. Kini, ia dipaksa masuk ke dalam tradisi kawin tangkap dan bahkan kehilangan kehormatannya ketika Leba Ali merenggutnya dengan paksa.

Magi menolak keras pernikahan itu. Dalam keputusasaan, ia mencoba bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya. Aksinya membuatnya dilarikan ke rumah sakit, sementara Leba Ali sempat dilaporkan ke polisi. Namun, uang dan kekuasaan kembali berbicara. Dengan dalih adat, Leba Ali bebas dari jerat hukum.

Kembali ke rumah, Magi dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya tetap ingin ia menikah dengan Leba Ali. Baginya, itu jalan terbaik karena masyarakat menganggap perempuan yang “tidak perawan” sudah tidak laku.

Magi menolak mentah-mentah, hingga akhirnya memutuskan kabur dengan bantuan Tara, sahabat sekaligus kakak iparnya, dan Dangu Toda, sahabat yang sudah dianggap kakak kandung. Dalam pelariannya, ia  bergabung dengan komunitas Gema Perempuan yang membantu pelariannya hingga ke Kupang dan Soe.

Selama satu setengah tahun, Magi hidup dalam persembunyian. Namun, ia kembali dihadapkan pada dilema. Adiknya, Manu, yang cerdas dan bercita-cita menjadi tenaga kesehatan, terancam tak bisa kuliah jika Magi tidak pulang. Dengan berat hati, Magi menegosiasikan kepulangannya pada ayah. Ia menyerah demi pendidikan Manu.

Setahun setelah kepulangannya, ayah Magi jatuh sakit. Dalam kondisi kritis, ia memohon agar Magi segera menikah, menjadikan permintaan itu sebagai wasiat terakhir. Lagi-lagi, calon mempelai yang datang adalah Leba Ali. Terhimpit antara bakti kepada orang tua dan luka masa lalu, Magi akhirnya setuju menikah dengan syarat ia tetap boleh berkarier.

Pernikahan digelar meriah sesuai adat. Namun, diam-diam Magi telah menyusun rencana. Ia tidak benar-benar menyerah, melainkan menunggu saat tepat untuk membalas. Pada malam pertama, ia sengaja memancing amarah Leba Ali dengan mengatakan dirinya sudah tidur dengan banyak lelaki selama masa pelarian. Amarah Leba Ali meledak. Ia memukuli Magi hingga wajahnya rusak parah dan dua giginya patah.

Ketika Leba Ali tertidur pulas, Magi yang babak belur melarikan diri dengan sepeda motor. Ia menghubungi Dangu dan mendatangi kantor polisi. Kondisinya yang mengenaskan menjadi bukti kuat untuk menjerat Leba Ali. Kali ini, berkat dukungan komunitas Gema Perempuan dan aparat kepolisian, kekuasaan serta uang tak mampu menyelamatkan Leba Ali. Ia dijatuhi hukuman tujuh tahun empat bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Orang tua Magi yang menyaksikan penderitaan putrinya akhirnya menyesali keputusan mereka. Mereka sadar telah salah karena memaksa Magi tunduk pada adat yang merugikan.

Melalui kisah Magi Diela, Dian Purnomo menyoroti kerasnya realitas adat kawin tangkap di Sumba. Novel ini memperlihatkan bagaimana tradisi bisa dijadikan tameng untuk melegalkan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Leba Ali bukan sekadar tokoh antagonis, melainkan gambaran penyalahgunaan kuasa atas nama budaya. Sementara itu, Magi mewakili perempuan yang berjuang mempertahankan martabat, menolak tunduk pada tradisi yang mengekang, sekaligus memperjuangkan hak pilih atas hidupnya.

Novel ini juga mengangkat stigma sosial yang kerap melekat pada korban kekerasan seksual. Alih-alih dilindungi, korban justru dipaksa menikah dengan pelaku demi menjaga “kehormatan keluarga”. Kritik ini begitu relevan karena masih banyak masyarakat yang menganggap keperawanan sebagai tolok ukur harga diri perempuan.

Membaca “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” membuat pembaca turut larut dalam penderitaan, amarah, dan keteguhan hati Magi. Cerita ini menguras emosi, sekaligus mengajak pembaca berpikir kritis bahwa tidak semua tradisi patut dipertahankan. Sebagian adat bisa menjadi senjata yang membungkam suara perempuan.

Lebih dari sekadar kisah tentang perempuan Sumba, novel ini menjadi seruan agar perempuan berani menyuarakan keadilan dan menolak segala bentuk ketidakadilan yang dibalut alasan budaya.

Identitas Novel:

Penulis​​: Dian Purnomo

Penerbit​: Gramedia Pustaka Utama

Kota terbit​: Jakarta

Tahun terbit​: 1 Mei 2021

Halaman​: 320 halaman

ISBN​​: 978-602-06-4845-3

Biodata Penulis

Endah Novitasari, seorang ibu rumah tangga biasa yang berusaha tetap mencintai dunia literasi dengan terus belajar menulis dan menyempatkan waktu untuk membaca. Pernah mengenyam pendidikan di bidang Bahasa Indonesia pada 2017 silam di Universitas Negeri Jakarta. Sudah pernah beberapa kali turut berpartisipasi pada kegiatan kepenulisan, baik prosa ataupun puisi.  Baginya, menulis sangat membantu untuk mencurahkan uneg-uneg yang membuat dada terasa sesak.

“Balaskan sakit hatimu melalui cerita yang mampu kaukarang sesuka hatimu dalam karya sastra ciptaanmu!” Jadi, daripada perang mulut apalagi sampai sindir-sindiran status, lebih baik hancurkan orang yang membuatmu sakit hati dengan menjadikannya seorang tokoh yang kauciptakan dan atur alurnya sesuka hati. Hehe. 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==