Sebuah Surau, Tempat Pulang yang Menyala dalam Ingatan

Oleh Ahmad Sofia Robbani

Menemukan buku Sebuah Surau bukanlah kesengajaan, melainkan hadiah kecil dari perjalanan ke sebuah bazar buku. Di tengah tumpukan novel dan buku motivasi, pandangan saya tertumbuk pada satu kata di sampul depan: surau. Kata itu segera menyalakan ingatan lama, masa kecil yang penuh suara adzan maghrib, langkah kecil berlarian menuju masjid. Saya membeli buku itu tanpa pikir panjang. Bagi saya, judul itu seperti janji akan perjalanan pulang, bukan ke tempat, tapi ke kenangan.

Saya membacanya malam hari, menjelang tidur. Ketika kopi sudah setengah dingin. Saat halaman pertama dibuka, ingatan masa kecil seperti duduk di samping. Sepanjang proses membaca, kenangan itu terus meletup-letup. Sebuah Surau bukan sekadar kisah fiksi; ia seperti undangan untuk pulang, ke tempat di mana suara anak-anak yang mengaji, rebana, dan selawat menjadi denyut kehidupan sehari-hari.

Novel karya Artie Ahmad ini mengisahkan sosok Kiai Moekti, pemuka agama yang dikenal welas asih terhadap sesama. Keramahan dan kesabarannya menjadi jalan meneladani akhlak Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sekembalinya dari berhaji, Kiai Moekti mendirikan sebuah surau atas permintaan mertuanya, Tuan Ali, yang juga ayah angkatnya. Surau itu berdiri di tengah Dukuh Atas, di atas tanah keluarga yang dahulu diwakafkan ayahnya. Dari tempat itulah pengajaran dimulai, pelan, tapi penuh cinta.

Penduduk dukuh sebenarnya sudah memeluk Islam, tetapi banyak di antara mereka yang belum paham cara beribadah dengan benar. Dengan telaten, Kiai Moekti mengajarkan wudu, salat, sedekah, hingga zikir. Surau kecil itu pun menjelma madrasah. Awalnya sepi, tapi perlahan hidup, karena Kiai Moekti pandai mendekati hati masyarakat. Ia memanfaatkan rebana, alat sederhana yang akrab di telinga warga, untuk menarik minat belajar. Dari selawat, orang-orang datang, lalu mereka menetap karena kasih.

Namun jalan dakwah tak selalu lapang. Suatu hari, ketika hujan turun deras, datanglah serombongan demang, mantri, dan polisi yang memaksa agar tanah surau diserahkan demi kepentingan pembangunan kantor pantau. Kiai Moekti menolak, karena tanah itu wakaf keluarga. Tapi keputusan penguasa sudah bulat. Surau lama pun diruntuhkan; surau baru dibangun di Dukuh Luar. Di sanalah Kiai Moekti melanjutkan dakwahnya, meski dengan luka yang belum sembuh.

Kisah menjadi semakin getir ketika Ibrahim, murid kesayangannya, terbunuh tragis akibat cintanya pada Marie, putri Kepala Polisi Belanda yang kejam. Artie Ahmad tidak menggambarkan kisah ini dengan dramatisasi berlebihan; ia menulis dengan kelembutan yang justru menyesakkan. Dalam kalimat-kalimatnya, agama tidak hadir sebagai doktrin keras, melainkan sebagai denyut batin yang lembut, iman yang diam-diam bekerja dalam keheningan.

Yang paling mengesankan, novel ini dibuka dengan suara “aku” dari sudut pandang surau itu sendiri. Sebuah pilihan naratif yang unik. Surau seolah hidup dan bercerita tentang kelahirannya, dari pohon jati yang ditanam ayah Kiai Moekti, hingga perjalanan panjang melewati zaman kolonial, pendudukan Jepang, Orde Lama, hingga masa kini. Surau menjadi saksi perubahan, sekaligus tempat manusia mencari arah pulang.

Sepanjang membaca, saya seperti mendengar kembali suara abah ustaz di masa kecil yang melafalkan huruf demi huruf Alif Ba Ta. Saya mendengar suara teman-teman yang dulu tertawa karena salah baca, dan berlarian di ruang masjid. Rupanya, membaca Sebuah Surau bukan hanya pengalaman literer, tapi juga perjalanan spiritual kecil yang menuntun saya menengok masa lalu.

Artie Ahmad lewat Sebuah Surau telah berhasil menyuguhkan bukan sekadar kisah, tetapi ruang refleksi: tentang keteguhan iman, kesabaran menghadapi kezaliman, dan keyakinan bahwa kelembutan selalu menemukan jalannya.

Identitas Buku:
Judul               : Sebuah Surau
Penulis            : Artie Ahmad
Penerbit           : Diva Press
Tahun Terbit   : 2021
Tebal               : 228 halaman

Tentang Penulis Resensi:

Ahmad Sofia Robbani, biasa dipanggil Bani. Seorang guru Bahasa Indonesia dan penggiat di Pojok Baca Teras. Lahir 30 tahun lalu di Brebes, kini banyak menghabiskan waktu di Purwokerto.

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==