
Oleh: Naufal Nabilludin
Harga emas naik tiap tahun. Biaya hidup makin tinggi. Harga rumah? Sudah di luar nalar, apalagi kalau penghasilan masih UMR. Di tengah kondisi ini, menikah jadi tantangan tersendiri buat generasi Gen Z.
Pernikahan yang selama ini dianggap sakral dan membahagiakan, malah sering jadi sumber stres. Karena yang dibayangkan bukan cuma soal ijab kabul, tapi soal pesta besar, gedung megah, ratusan undangan, katering, dekorasi, dan seabrek kebutuhan lain. Semua demi “standar” yang katanya harus dipenuhi dan gengsi yang harus dipertahankan.
Bayangkan, hidup masih susah, penghasilan segitu-gitu aja, tapi dituntut buat bikin pesta pernikahan yang “pantas” di mata orang lain. Rasanya absurd, tapi itulah realita sosial kita.
Makanya, nggak heran kalau sekarang makin banyak Gen Z yang mulai berani bersuara. Mereka memilih jalan yang lebih sederhana: intimate wedding, atau bahkan nikah di KUA aja. Bukan karena nggak punya duit, tapi karena lebih tahu prioritas.
Buat apa maksa pesta besar kalau setelah itu harus ngutang ke sana-sini? Buat apa bikin acara megah, kalau setelah nikah malah stres mikirin cicilan resepsi? Yang pernikahannya gak sehat.
Anak muda zaman sekarang udah makin sadar soal pentingnya kesehatan finansial. Banyak yang lebih memilih uang nikah dipakai buat DP rumah, tabungan masa depan, atau sekadar honeymoon yang layak dikenang. Dan ini pilihan yang harus dinormalisasi.
Sayangnya, masih banyak yang menganggap pilihan ini aneh. Nggak sedikit yang bilang: “Masa nikah cuma di KUA?”, “Nggak malu nggak bikin resepsi?”, atau “Nggak kasihan sama orangtua?”, ” “Nikah cuma sekali seumur hidup”.
Padahal orang yang nikah mewah, resepsinya ngundang banyak orang gak menjamin bahagia. Banyak juga dari mereka yang mengakhiri pernikahannya. Dan gak jadi “Sekali seumur hidup”.
Kita harus sadar yang menjalani hidup pernikahan bukan para tamu, bukan tetangga dan bukan teman yang sekadar lewat makan. Tapi dua orang yang saling mencintai dan berkomitmen membangun masa depan bersama.
Haruskah kebahagiaan mereka dikorbankan demi gengsi?
Ini yang perlu kita refleksikan bersama. Karena kenyataannya, banyak pasangan yang setelah resepsi mewah justru memulai hidup dari minus.
Hutang di mana-mana, tabungan ludes, dan akhirnya rentan berantem hanya karena urusan finansial. Nggak sedikit yang akhirnya berujung pisah, hanya karena dulu terlalu memaksakan diri di awal.
Intimate wedding ini bisa menjadi jawaban. Bentuk bentuk sadar diri. Tahu mana yang penting, mana yang cuma tuntutan sosial. Dan itu harusnya bisa kita dukung, bukan malah dipertanyakan.
Karena pernikahan seharusnya jadi awal dari hidup baru, bukan awal dari beban baru.

