
Luruh adalah perjalanan hati yang perlahan melepaskan, bukan karena tak cinta, tapi karena terlalu lama menahan luka. Setiap bait dalam kumpulan puisi ini adalah jejak rasa yang pernah mencoba bertahan—pada seseorang, pada harapan, pada kenangan yang tak juga pergi. Di dalamnya, ada pengorbanan yang sunyi, perpisahan yang tak pernah sempat diucap, dan cinta yang hanya tinggal gema.
Puisi-puisi ini bukan tentang akhir yang meledak, melainkan retak-retak kecil yang perlahan membentuk ruang untuk mengenali diri. Luruh adalah kisah mereka yang masih belajar berdamai, dengan masa lalu, dengan kecewa, dengan dirinya sendiri. Semoga setiap larik di kumpulan puisi ini bisa menemani siapa pun yang sedang diam-diam menguat—meski belum benar-benar utuh.
Verra Okti



Puisi Verra Okti
Runtuh
di antara senja muram tanpa aroma kopi, ada rasa dan keinginan untuk menatapmu lebih lama
namun kita terkukung dalam batas energi, dijerat bahasa yang sulit terpahami, dan kondisi yang membuatku muak
mengapa kau menyerah untuk bertahan menjadi sekadar kawan?
apakah terlalu banyak gelap yang menyelimuti di sekitarku hingga kau sendiri enggan menyalakan lentera
atau mungkin kau lupa, dulu dengan rumah yang nyaris patah, jiwa tercabik, bahkan hati penuh luka, aku masih memapahmu keluar dari gelap
mungkin kau lupa, aku tak pernah sejengkal pun meninggalkan dalam kesakitan, tak pernah meluputkanmu dari pandangan
ketika lilin di sekitarmu padam tertiup angin, aku terus menyulut apinya agar kau tak tersandung dan jatuh tersungkur
sampai akhirnya aku tak punya lagi pemantik, dan tiba di tepi jurang, bertahan dengan tali yang terulur meski berpeluh darah
lantas waktu berlalu
pecahan kaca di depan mataku hari ini menyentak bawah sadar,
aku nyatanya hanya seorang sendiri, menampung wasilah atas hidupku yang berliku
dan tak tentu arah
21 Desember 2024
18.27 WIB
oOo

Puisi Verra Okti
Pada Akhirnya, Kita Menjadi Asing
secangkir cappuccino di akhir tahun ini, di bawah redup langit dan alunan musik sendu, serta bisik angin yang menyela, aku mengingat sebuah masa tentang kita
saat aku melihat tanganmu tergores duri dan berdarah tanpa henti, kaki yang tertusuk paku di sepanjang jalan, dan sekujur tubuhmu bergetar
dengan sisa kehidupan yang kumiliki, aku memapahmu berjalan melewati banyak rintang, menyerahkan separuh napasku agar kau tetap hidup
memberikan setengah detak jantungku agar kau bisa menyaksikan permata hatimu lahir ke bumi
dan aku membiarkan diriku kehilangan aliran cakra yang dahulu jadi nadi hidupku
hingga akhirnya, kutanamkan bunga abadi itu di dalam manusia yang baru merayakan kelahirannya 365 hari lalu
kini, aku tengah tertatih berlari, dengan menggenggam erat yang kumiliki
kusebut namamu berulang kali dalam gelap, namun kau terus berjalan tanpa melihatku yang masih terjebak di ruang kelam sebab kuncinya telah kau bawa pergi
dan kau tak menoleh sedetik pun, mencipta jarak beribu kilometer hingga aku tersungkur dan meratapi rapuhnya jiwaku
lalu aku bersimpuh di atas tanah dengan kerikil tajam, menatap langkahmu yang kian jauh
katamu itu jalan cahaya, dan aku tak perlu bergantung pada manusia
hanya harus percaya pada diri sendiri meski penuh luka
hanya harus mengambil alih kendaliku yang telah lama diretas oleh seorang pria yang bahkan mengorbankan usianya untuk memberiku bahagia
seketika itu, aku tahu, kau hanya mencintai dirimu—
29 Desember 2024
14.07 WIB
oOo

Puisi Verra Okti
Tentang yang Kau Sebut Rumah
“apa kau akan pulang?”
agaknya aku alpa, menanyakan itu berulang
sebenarnya, aku hanya memastikan, apakah masih kau simpan rasa untuk dia yang pernah kau sebut rumah
sementara ia melontar serapah, lalu kau hirup aroma kebencian
ia tutup rapat pintunya sejak lima ratus empat puluh tujuh hari lalu
sedang kau, tak punya kuncinya
“aku yang bersalah atas hal ini”
begitu ucapmu acap kali kutanya, mengapa tak kunjung melangkah dan melepasnya
kau justru memilih diam seraya menatap dalam
hingga aku hanya menerka-nerka apa yang terpendam, di hati dan pikiranmu
sampai saat ini, aku masih bertanya
“apakah ia benar tempatmu memeluk tenang?”
sedang kau kembali ke sisiku dengan wajah muram, kornea mata yang keruh, jejak yang gontai seolah tubuhmu telah diretas keputusasaan dan nyawamu tinggal sejengkal
tidak kah kau tersadar, luka itu terus menjalar, darahnya menyesaki ruang di rongga dadamu, memompa jantungmu lebih cepat dan merobek-robek nadimu
hingga matahari menyinari kurang dari setengah rembulan, kau masih kukuh berpegang pada keyakinan
“aku pasti pulang”
30 Desember 2025
20.31 WIB
oOo

Puisi Verra Okti
Ego
segelas kopi dan senandung nada dengan frekuensi theta
ada kilasan rasa lama serta aroma lampau silih berganti
yang kuabai, tetapi kian hampa
aku yang telah lupa cara mengasihi diri
telah lupa cara menyatukan nadi dengan semesta
dan kini dilanda rindu pada raga
yang dahulu tak terpapar hitamnya dunia
acap kali aku bicara sendiri
apakah karma masih bersarang dalam diri
bagaimana aku bisa membayarnya
sementara langkahku dijerat, tubuhku dikekang dalam ruang berkarat
namun bila aku berjalan seorang diri, aku resah akan sepi
aku takut direjam sunyi, lalu mati
2025
oOo

Puisi Verra Okti
Terlepas
aku kira, jarak tak jadi soal, jeda tak jadi rumitkan kita
dan segenggam paku yang kau pijak tak lagi menyakitkan
namun kita terlepas
pada akhirnya kau kandas di jalanmu sendiri
karam di kapal yang kau pilih
sedang aku, telah renggangkan tali itu
tak lagi bisa menarikmu, kali ini dari dalamnya palung lautan
sebab kau sendiri yang memutar layar ke pusaran badai
dan kini tenggelam
12 April 2025
oOo



TENTANG PENULIS: Verra Okti adalah penulis dan penyair asal Tegal, Jawa Tengah. Verra pernah mendapatkan juara 1 Baca Puisi Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kreativi Seni Surabaya dan menyabet gelar karya terbaik dalam kompetisi Baca Puisi Bulan Bahasa UGM pada tahun 2024. Verra juga telah merilis buku kumpulan puisi Samsara (2024), Segumpal Daging di dalam Tubuh (2023), Ombak Kenangan dan Kekasih yang Menjelma Bayangan Hitam (2022), Sajak September (2021), dan Novela Generasi-Y (2020).

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan 2 foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya.
