
Oleh: Gerardus Kuma Apeutung
Hidup adalah misteri. Ungkapan ini menggambarkan kenyataan hidup yang tidak dapat diprediksi. Misteri hidup mencerminkan masa depan yang tidak pasti. Seperti apa masa depan seseorang memang tidak bisa ditebak.
Walau sebuah misteri, masa depan seseorang tidak bisa dipisahkan dari masa lalunya. Masa lalu adalah bingkai masa depan. Artinya masa depan seseorang dibentuk oleh masa lalunya. Kisah masa lalu sering menjadi penentu jalan hidup seseorang. Pilihan hidup atau pekerjaan seseorang, misalnya, kadang punya tautan dengan masa lalunya.
Itulah kisah Frans Pati Herin, yang ditulis dalam bukunya ”Lompat Kapal ke Amerika”. Putra berdarah Solor-Adonara ini adalah wartawan Kompas. Profesi yang dilakoni Frans saat ini, sesungguhnya tidak terlepas dari kisah masa kecilnya.

Frans muda memang tidak pernah berpikir untuk menjadi wartawan. Setelah menyelesaikan study di perguruan tinggi pada sebuah Universitas Katolik Widya Mandira di ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang, Frans lalu pulang kampung.
Frans lalu mengabdi sebagai guru Matematika di alma maternya, SMPN 2 Adonara. Profesi ini sesuai dengan pilihan studynya di pendidikan tinggi. Karena itu, ketika dihubungi untuk mengikuti test wartawan di Kompas, awalnya ia merasa enggan.

Namun, kisah masa lalunya yang bertaut dengan profesi wartawan masih kuat membekas. Frans pun memberanikan diri mengikuti test. Ia mengirim berkas ke Jakarta, mengikuti test di Kupang, lalu magang setahun di Jakarta.
Bagaimana Frans bisa bekerja di koran harian terbesar nasional ini?
Semua itu berawal dari radio bekas. Radio pemberian Anton Baba untuk keluarga Frans menjadi peneman Frans kecil saat di kampung. Melalui radio itu, Frans mengetahui informasi yang terjadi di daerah lain. Perkembangan terkini dunia luar selalu diikuti Frans lewat siaran radio bekas tersebut.
Dari radio bekas itulah Frans tahu wartawan. Orang yang tugasnya menyampaikan informasi atau menulis berita. Diam-diam Frans kecil menyimpan kerinduan untuk menjadi wartawan. Ia ingin membagi berita bagi orang lain.
Perkenalan dengan media berlanjut ketika Frans mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama. Konflik di sekolah menjadi viral karena diberitakan media. Pemberitaan itu membuat pimpinan lembaga tersebut dicopot dari jabatannya. Dari situ Frans tahu, berita itu ditulis oleh wartawan.
Di perguruan tinggi, perkenalan Frans dengan media semakin intens. Di awal masa kuliah, foto Frans terpampang sebagai headline koran. Keterlibatannya dalam organisasi baik intra maupun ekstra kampus membuat Frans banyak bertemu wartawan. Ia sering masuk pemberitaan di media.
Panggilan menjadi wartawan tidak terlepas dari pertautan Frans dengan media di masa lalu. Inilah yang memampukan suami Kriswinda Masan ini melewati tahapan seleksi jurnalis Kompas. Perjuangannya penuh drama. Sempat tidak direstui ibunda, hampir terganjal syarat kesehatan, hingga harus melompat ke kapal.
Tidak hanya berbicara tentang pertautan masa lalu Frans dengan media, buku ini juga menceritakan daya juang Frans dalam menerobos keterbatasn di kampung demi mengenyam pendidikan. Saban hari, Frans kecil harus berjalan kaki pergi pulang sekolah yang berada di kampung sebelah barat kampungnya.
Saat di bangku kuliah, tantangan tak pernah henti. Transportasi sering menjadi hambatan utama karena jarak antara kampung dengan tempat kuliah terpisah pulau. Dikepung keterbatasan dan dihadang hambatan, Frans tidak terbelenggu. Sebaliknya memompa semangat juangnya.
Buku ini merupakan penggalan cerita petualangan jurnalistik Frans yang dimulai ketika mengikuti seleksi jurnalis Kompas, magang di Jakarta, masa-masa penugasan di Ambon, dan kesempatan jalan-jalan ke negeri Paman Sam.

Setelah melewati seluruh tahapan seleksi dan dinyatakan lolos sebagai calon wartawan Kompas, Frans harus berada di Jakarta per 01 November 2012 untuk menjalani magang. Empat hari sebelum waktu yang ditentukan, Frans berangkat ke Kupang untuk selanjutnya ke Jakarta.
Sial bagi Frans. Kapal fery Ile Boleng yang akan ditumpanginya ke Kupang berangkat lebih awal dari jadwal. KM Ile Boleng sudah bergerak meninggalkan pelabuhan. Sementara Frans masih berada di KM Cahaya Rahkmat dalam pelayaran dari Weiwerang ke Lembata.
Kapal fery hanya berlayar seminggu sekali. Tidak ada pilihan lain. Kedua kapal tersebut saling merapat di tengah laut. Dan Frans harus melompat dari kapal kayu KM Cahaya Rakhmat ke kapal fery Ile Boleng agar tidak terlambat sampai di Jakarta.
Di Jakarta, Frans bersama 14 calon jurnalis lain menjalani magang selama setahun. Frans lalu mendapat penugasan pertama di Maluku. Tempat yang disebutnya sebagai tanah impian.
Di Maluku, Frans menjelma menjadi jurnalis yang idealis dan militan. Itu terlihat dalam setiap liputannya. Frans memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik dalam bekerja. Tulisannya selalu mengedepankan keakurasian, keberimbangan dan independensi. Ia tidak disetir oleh penguasa.
Sebagai jurnalis, Frans sangat getol memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan walau di bawah tekanan banyak pihak. Ketajaman pena Frans selalu mengusik kenyamanan penguasa. Ia berani menentang penyelewengan kekuasaan.
Frans tidak takut membongkar praktik-prakti kotor yang merugikan negara dan mengorbankan masyarakata biasa, walau harus mempertaruhkan nyawa. Di Maluku Frans membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan penguasa dan aparat. Aktivitas tambang ilegal di Gunung Botak dan praktik ilegal fishing di laut Seram berhasil dihentikan setelah diberitakan Frans. Pemberitaan yang berujung ancaman dan intimidasi karena ia berhadapan dengan aparat.
Militansi Frans sebagai jurnalis berbuah ganjaran beasiswa International Visitor Leadership Program dari Pemerintah Amerika Serikat. Juga penghargaan lain seperti Frans Seda Award 2020. PLN Jurnalistik Award 2021, BPJS Award 2022 dan 2024, Pelindo Award 2023, dan Best Employee Kompas Gramedia 2023.
Saya mengenal Frans hanya lewat tulisan-tulisannya di Kompas. Tulisan Frans selalu bertenaga karena kehebatannya mendeskripsi. Narasinya punya kekuatan menggugah. Liputan-liputannya selalu bersentuhan dengan masyarakat kecil. Tulisan Frans menunjukkan keberpihakannya pada orang kecil dan lemah.
Saya sangat suka membaca tulisan feature Frans tentang tokoh/ sosok. Setiap feature yang digarapnya selalu mengangkat orang-orang kecil dengan karya besar. Mereka yang mengabdi tanpa lelah di pelosok-pelosok negeri. Hampir tidak pernah ditemukan tulisan Frans tentang pejabat, pesohor, atau politisi.
Lewat pena Frans, orang-orang seperti Maksimus Masan Kia yang tak kenal lelah mengkampanyekan gerakan literasi di kampung-kampung; Zaini Boli Ratuloli yang tidak patah semangat menghidupkan seni; Thomas Ata Sogen yang tekun melatih guru-guru di NTT untuk menulis; Oktavianus Beda Raran yang semangat berjualan jagung titik untuk menghidupkan taman baca di kampungnya bisa dikenal publik.
Frans benar-benar menjalankan ”ibadah” jurnalistiknya untuk menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan.
Berani Melompat
Frans lewat kisahnya dalam buku ”Lompat Kapal ke Amerika” menginspirasi siapa saja untuk berani mengejar cita-cita. Tidak ada larangan dalam memperjuangkan mimpi/ cita-cita. Batasan mimpi adalah langit. Syaratnya adalah berani melompat.
Melomat secara harafiah berarti bergerak dari tempat kita berada ke tempat lain. Itu artinya kita tidak mau berdiam di tempat. Dengan melompat, kita dapat menjelajahi wilayah baru. Melompat memampukan kita menemukan pengalaman baru. Merasakan suasana baru. Melompat membawa kita ke hal-hal baru.

Secara positif, melompat berarti selalu ingin bergerak maju, siap untuk berubah dan berani menghadapi tantangan baru. Melompat menggambarkan keberanian dan daya juang yang tinggi. Semangat pantang menyerah. Melompat berarti berani mengambil resiko, dan tidak takut gagal.
Melompat bukanlah sebuah aksi yang mudah. Melompat adalah tindakan penuh resiko. Namun tanpa melompat, kita tidak akan ke mana-mana. Tanpa melompat mimpi hanya sebuah awang-awang.
Frans telah membuktikannya. Aksinya melompat ke kapal feri sangat beresiko. Bisa saja ia tercebut ke laut. Namun, bila tidak melompat saat itu, Frans tidak akan sampai di Jakarta pada waktu yang tepat dan tidak menjadi wartawan Kompas.
Lompatan (baca pencapaian) Frans saat ini, tidak terlepas dari lompatan-lompatan kecilnya di masa lalu. Daya juang, ketekunan, keberanian, keuletan, kerja keras telah membawa Frans ”melompat” ke ”kapal” Kompas hingga ke Amerika Serikat.
Tentang Penulis:
Gerardus Kuma Apeutung. Lahir di Leuwayan, Lembata, NTT. Menyelesaikan pendidikan tinggi pada Universitas Katolik St. Paulus, Ruteng, Flores. Saat ini mengabdi di SMPN 3 Wulanggitang, Flores Timur, NTT. Suka membaca apa saja yang bisa dibaca, dan menulis apa saja yang bisa ditulis.

