Puisi: Kesaksian dari Tanah yang Dirampas Karya Nita Lusaid

Refleksiku setelah membaca WA dari Yessi, adik kelasku di SMANSA

Pesan itu datang
dari Sibolga,
bukan sebagai kabar,
melainkan sebagai kesaksian
yang bergetar di layar kecil
dan menghantam hati.

Tak ada perayaan.
Baju baru adalah baju bekas,
yang dipungut dari tumpukan bantuan.
Sepatu baru
satu pasang boot karet
yang dipakai bergantian sekeluarga.
Hidangan…..
tak perlu ditanya,
air bersih saja,
telah menjelma syukur
yang paling purba.

Gereja runtuh
dihantam banjir kayu gelondongan.
ya……, kayu !!! ,
bukan sekadar air.
Sekolah berdiri limbung
di tepi longsor.
Di seberang,
kuburan terendam lumpur,
bahkan yang wafat,
tak diberi hak
untuk diam dengan damai.

Ini bukan banjir biasa.
Ini bukan hujan yang lupa berhenti.
Ini jejak panjang
dari hutan yang dilucuti,
lereng yang ditelanjangi,
dan sungai yang dipaksa
menjadi jalur pelarian dosa.

Fakta tak lagi berbisik,
ia berteriak.
Hutan yang hilang
mempercepat longsor.
Daerah aliran sungai yang rusak
mengubah hujan
menjadi hukuman.
Banjir lumpur
bukan takdir,
ia akibat.

Kayu-kayu itu tahu silsilahnya.
Ia lahir dari izin,
dari tanda tangan,
dari rapat-rapat ber-AC
yang menukar nyawa
dengan angka keuntungan.
Mereka menyebutnya investasi;
tanah menyebutnya
perampasan.

Lalu di mana negara
ketika pepohonan dihitung
sebagai komoditas?
Siapa yang memberi izin
saat daya dukung diabaikan?
Siapa yang berdiri paling depan
ketika bencana datang
dan warga kehilangan segalanya?

Data telah lama mengingatkan:
deforestasi meningkatkan risiko banjir,
alih fungsi lahan memicu longsor,
dan pembalakan rakus
menggiring bencana
ke pintu rumah rakyat.
Namun suara ini
kalah oleh gemerincing laba.

Aku sedih,
dan dari sedih itu
lahir marah
yang jernih.
Sebab penderitaan ini
bukan sekadar musibah,
melainkan buah
dari keserakahan
dan kelalaian kekuasaan.

Kepada para penimbun untung
di atas tanah yang runtuh,
ingatlah:
alam menyimpan ingatan.
Ia sabar,
namun tak pernah lupa.
Ketika menagih,
tak ada yang bisa bersembunyi.

Dan kepada negara,
jangan bungkus duka
dengan prosedur.
Keadilan ekologis
bukan jargon,
ia kewajiban.
untuk masyarakat,
untuk anak-anak
yang bersekolah
di tepi longsor
dan sungai yang marah.

Dari Sibolga,
kami belajar satu kebenaran pahit:
empati harus menjadi kebijakan,
dan kemarahan
harus berujung
pada tanggung jawab.!!!

Jakarta, 26 Desember 2025

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Catatan Penulis
Puisi ini lahir dari sebuah kesaksian yang nyata.
Dari Sibolga, dari tanah yang terluka,
aku belajar bahwa bencana bukan selalu kehendak alam semata.
Ia sering kali adalah akibat dari hutan yang ditebang,
lereng yang dibuka,
dan keputusan-keputusan yang mengabaikan keselamatan manusia.

Berbagai kajian lingkungan hidup telah lama mengingatkan:
deforestasi dan kerusakan daerah aliran sungai memperbesar risiko banjir dan longsor.
Ketika izin diberikan tanpa kehati-hatian
dan pengawasan melemah,
yang menanggung akibatnya adalah warga
yang hidup paling dekat dengan alam.

Puisi ini tidak kutulis untuk menambah duka,
melainkan sebagai panggilan nurani.
Agar empati tidak berhenti sebagai rasa,
agar kemarahan menemukan arah,
dan agar tanggung jawab manusia dan negara,
kembali menjadi kata kerja.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==