Oleh Aprilia Rizki Arifah
Madiun menjadi kota yang ingin saya kunjungi karena letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal saya, Solo. Beberapa kali tempat wisata di Madiun muncul di beranda Tiktok dan Instagram, seperti Bogowonto Culinary Center Kota Madiun, Pahlawan Religi Center, Wana Wisata Grape, dan sebagainya.
Keinginan menjelajahi Madiun semakin kuat setelah adanya KA BIAS. Kereta ini menghubungkan Bandara Adi Soemarmo dengan Solo Balapan, Madiun hingga Caruban. Perjalanan dari Solo ke Madiun menggunakan KA BIAS cukup terjangkau dengan biaya Rp40.000,00.

Hingga tibalah saya memesan tiket kereta ke Madiun pada pagi hari. Saya sengaja berangkat pagi karena ingin sarapan nasi pecel. Tentunya, tidak sulit menemukan nasi pecel yang nikmat di Madiun. Setelah itu, saya mengelilingi kota Madiun bersama sahabat saya.
Kelap-kelip lampu dengan beragam warna sudah mati, berganti dengan suasana pagi yang syahdu. Ada cukup banyak orang yang sedang berjalan-jalan di area Pahlawan Religi Center. Selain itu, banyak juga yang asik berolahraga di alun-alun kota. Kota Pendekar ini menyuguhkan suasana yang cukup sibuk, namun tenang.
Perjalanan Menuju Saksi Bisu Keganasan PKI
Setelah puas berkeliling, kami memutuskan untuk berwisata sejarah dengan menyambangi Monumen Kresek. Monumen tersebut terletak di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Desa Kresek menjadi saksi bisu kekejaman PKI pada saat itu.

Pemberontakan yang terjadi pada bulan September—Desember 1948 bertujuan untuk mengganti dasar negara dan menggulingkan pemerintah. Ada banyak korban dalam pemberontakan tersebut, monumen Kresek didirikan untuk mengenang para korban yang telah gugur dalam mempertahankan keutuhan negara.
Sejarah itulah yang membuat kami ingin segera menelusuri saksi bisu pemberontakan PKI. Perjalanan dari kota menuju monumen kurang lebih 25 menit. Akses jalan yang mudah membuat perjalanan terasa begitu singkat. Padahal, tempatnya berada di lereng Gunung Wilis. Di balik indahnya pemandangan ini, ternyata menyimpan memori kelam.

Sesampainya di monumen, kami memarkirkan motor di sebrang monumen. Tak banyak kendaraan yang parkir di situ, mungkin karena masih pagi sehingga belum banyak pengunjung. Setelah itu, kami berjalan menuju pintu masuk, di sana sudah ada bapak-bapak yang memberikan tiket masuk. Pengunjung cukup membayar Rp5.000,00 untuk dapat menelusuri sejarah PKI di Madiun.
Biaya tiketnya memang terjangkau. Tak jauh dari pembelian tiket tersebut, ada ibu-ibu yang menjual jajanan pasar. Di sebelahnya terhampar luas rumput hijau yang menyegarkan mata. Di bagian ujung terdapat tiang bendera yang mengibarkan bendera merah-putih. Birunya langit berpadu dengan hijaunya pepohonan membuat suasana menjadi asri.
Setiap pengunjung yang baru datang pasti akan terfokus ke patung yang berada di atas bukit. Patung yang besar tersebut menggambarkan Musso yang sedang mengibaskan pedangnya ke arah seorang kyai. Kyai tersebut Bernama Kyai Husen, terkenal arif dan bijaksana, beliau juga anggota DPRD Kabupaten Madiun tahun 1948. Pengunjung harus menaiki tangga terlebih dahulu untuk mencapai puncak tersebut.

Kami langsung naik menuju patung tersebut. Di sana sudah pegunjung yang sedang memfoto anaknya dengan latar patung Musso. Ketika sudah berada di puncak monumen akan terlihat panorama yang begitu indah. Pengunjung juga dapat melihat kolam yang berada di sisi kanan patung. Kolam tersebut mengelilingi sebagian dasar monumen, bentuknya mengikuti tebing batu.

Patung Anak-Anak Korban PKI
Sebelum menuju puncak, pengunjung akan melihat patung anak-anak korban PKI. Patung tersebut merepresentasikan keluarga para korban yang menuntut bela kepada pemerintah Republik Indonesia. Lima anak kecil tersebut menjadi lambang keberaniaan di tengah penderitaan yang mereka alami. Posisi tangan ke atas seolah meminta keadilan serta pertolongan.

Relief dan Prasasti di Puncak Monumen
Setelah melewati patung itu, pengunjung akan mencapai puncak monumen. Di puncak pengunjung dapat melihat patung Musso dan Kyai Husen secara dekat. Di area patung juga terdapat relief yang menggambarkan kekejaman PKI. Relief tersebut juga menggambarkan perlawanan yang dilakukan terhadap PKI. Penumpasan PKI saat itu dilakukan oleh Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letkol Sadikin dan Divisi Jawa Timur yang dipimpin oleh Kolonel Sungkono.


Kami berbincang cukup lama di puncak monumen sambil mengamati detail relief. Relief tersebut seolah menghidupkan kembali masa-masa kelam dan penuh derita. Siapa saja yang melihat relief tersebut akan membangkitkan rasa geram atas perbuatan yang dilakukan oleh PKI. Rindangnya pepohonan juga membuat kami betah untuk mengamati relief.
Pada dinding yang bersebelahan dengan relief terdapat sebuah prasasti yang berisi pesan dari Gubernur Jawa Timur, Soelarso. Beliau menuliskan bahwa monumen tersebut dipersembahkan kepada generasi muda untuk mengingat kekejaman dan kebrutalan musuh-musuh Pancasila dan UUD 1945. Pesan tersebut mengandung makna mendalam bagi generasi muda untuk tetap menjaga kedaulautan bangsa dan negara. Prasasti tersebut juga menjadi tanda peresmian monumen, yaitu pada tanggal 10 Juni 1991.

Sumur Pembuangan dan Daftar Korban Keganasan PKI
Beberapa saat setelahnya, kami memutuskan untuk turun. Ternyata, ada tempat yang masih terlewat karena sejak awal sudah terfokus ke arah puncak. Di dekat pintu masuk sebelah selatan terdapat prasasti serta sumur tempat pembuangan korban PKI. Untungnya, kami tidak terburu-buru untuk pulang sehingga dapat melihat tempat itu. Tempatnya memang berada di area pojok.
Sumur tempat pembuangan korban PKI telah ditutup, diatasnya dibuat relief nama-nama korban keganasan PKI. Ada 17 korban yang gugur di Desa Kresek, meliputi Kol. Marhadi, Letkol Wiyono, Insp. Pol. Suparbak, May Istiklah, R.M. Sarojo (Patih Madiun), Kyai Husen (Anggota DPRD Kab. Madiun), Mohamad (pegawai dinas kesehatan), Abdul Rohman (Asisten Wedono Jiwan), Sosro Diprojo (Staf PG Rejo Agung), Suharto (Guru Sekolah Pertanian Madiun), Sapirin (Guru Sekolah Budi Utomo Madiun), Supardi (Wartawan Lepas Madiun), Sukadi (tokoh masyakarat), K.H. Sidiq, R. Charis Bogio (Wedono Kanigoro), K.H. Barokah Fachrudin (ulama), dan Maidi Marto Disomo (agen polisi).

Tak jauh dari prasasti tersebut, ada sebuah pendopo yang berdiri kokoh. Area pendopo tersebut dahulunya merupakan rumah warga yang dijadikan markas PKI untuk melakukan pembantaian. Pada bagian pendopo juga terdapat papan informasi yang berisi penjelasan mengenai Monumen Kresek. Pengunjung dapat dengan mudah memahami sejarah setiap patung, relief, serta prasasti melalui papan informasi tersebut.
Monumen Kresek: Ruang Edukatif dan Rekreatif

Monumen seluas 3,3 hektar ini sekarang juga dijadikan sarana rekreasi oleh masyarakat Madiun. Saat kami hendak meninggalkan monumen, tampak rombongan yang datang menggunakan kereta kelinci dan menikmati waktu dengan berpiknik di area monumen.
Sahabat saya juga bercerita bahwa ketika masih bersekolah pernah mengikuti kegiatan kemah di tempat ini. Hal ini terasa wajar karena lingkungan monumen begitu rindang, bersih, dan nyaman untuk kegiatan edukatif dan rekreatif.



