Traveling: Wisata Budaya Suku Sasak ke Desa Adat Sade Lombok

Oleh: Baiq Darmiani

Desa Adat Sade namanya, teman-teman pernah dengar? Pernah lihat di media sosial atau mungkin ada yang sudah pernah berkunjung? Nah, kali ini aku mau cerita sedikit tentang Desa Adat Sade—wisata rumah adat yang pernah aku kunjungi. Buat yang sudah pernah ke sana, semoga bisa bernostalgia, dan buat yang belum, semoga dapat gambaran dan siapa tahu suatu saat bisa ke sana, ya. Hehe.

Desa Sade ini sebenarnya adalah salah satu dusun di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tapi lebih dikenal dengan sebutan Desa Adat Sade. Desa ini merupakan salah satu destinasi wisata rumah adat suku Sasak Lombok yang paling terkenal di wilayah Pujut. Setiap hari selalu ramai pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Lokasinya juga strategis, tidak jauh dari jalan utama menuju Pantai Kuta Mandalika.

Yang membuat desa ini unik, rumah-rumah adat di sana masih asli, warisan dari nenek moyang suku Sasak. Bentuknya seperti bilik berdinding bambu anyaman, beratapkan alang-alang dengan kerangka bambu, dan berlantai tanah liat. Nah, yang menarik, masyarakat di sana masih mengepel lantai rumah menggunakan kotoran sapi loh—minimal sebulan sekali! Tujuannya untuk menjaga agar lantai tidak retak dan tetap awet. Di setiap rumah biasanya hanya ada satu hingga dua kamar saja.

Desa Sade juga terkenal sebagai penghasil kain tenun songket Lombok. Jadi, begitu masuk dari gerbang utama, kita akan langsung disambut deretan kain tenun songket hasil karya ibu-ibu masyarakat Sade. Kualitasnya bagus banget, dan harganya bervariasi tergantung jenis kainnya.

Selain kain, mereka juga menjual baju adat Sasak seperti ‘Lambung’ (untuk perempuan) dan ‘Pigon’ atau ‘Godek Nongke’ (untuk laki-laki), serta produk lain seperti kemeja tenun, sarung, ikat kepala, selendang, hingga aksesoris, permainan tradisional, jajanan khas Lombok, dan masih banyak lagi yang cocok dijadikan oleh-oleh. Tenang aja, harga barang-barang di sana bisa ditawar kok—tapi jangan terlalu sadis ya nawarnya, hehe.

Kalau cuma ingin berfoto-foto, teman-teman juga bisa menyewa kain atau baju adat di sana. Waktu aku ke sana bulan Januari kemarin, sewa baju cuma Rp35.000. Tapi itu tergantung tempat sewa ya, karena ada beberapa warga yang menyediakan layanan tersebut.

Selain itu, kita juga bisa melihat langsung alat-alat menenun, karena biasanya ibu-ibu menenun di teras rumah. Mereka juga sangat ramah dan terbuka kalau ada pengunjung yang mau belajar menenun.

Oh ya, di desa ini ada satu spot yang cukup ikonik, yaitu ‘pohon jodoh’. Sebuah pohon besar yang sudah mati tapi masih berdiri kokoh, di bawahnya ada dudukan dari semen. Kenapa disebut pohon jodoh? Konon, kalau pasangan (yang belum menikah) berfoto di sana, hubungan mereka jadi langgeng dan akan menikah. Sedangkan yang masih jomblo, katanya sih bisa cepat ketemu jodoh! Yuk yang masih jomblo, boleh tuh dicoba, siapa tahu langsung ketemu jodoh, haha.

Tepat di depan pohon jodoh, sekitar tujuh meter jaraknya, ada sebuah menara setinggi kurang lebih 20 meter. Dari atas menara ini, kita bisa melihat hamparan sawah dan pemandangan indah rumah-rumah adat Desa Sade dari atas.

Aku sempat tanya ke warga sana, kenapa sih dinamakan pohon jodoh? Ternyata dulu, kalau ada muda-mudi yang mau “merarik”—menikah secara adat Sasak dengan cara laki-laki menculik si perempuan atas dasar kesepakatan—mereka janjian ketemu di bawah pohon itu. Sampai sekarang, tradisi merarik masih dilestarikan di Desa Sade.

Bahkan katanya, lamaran secara formal malah dilarang. Jadi, buat cowok-cowok yang ingin menikahi gadis Sade, harus ikut tradisi ini ya. Tapi nggak cuma itu, katanya para gadis di sana juga tidak boleh menikah sebelum bisa menenun. Wah, menarik banget kan kalau sudah bicara soal adat istiadat?

Desa Adat Sade memang luar biasa indah, dengan rumah-rumah adat yang masih terjaga, lingkungan yang bersih, dan masyarakat yang sangat ramah. Di desa ini juga ada satu masjid lengkap dengan tempat wudhu, toilet, dan mukena untuk para muslimah, jadi aman buat yang ingin salat. Kalau sore hari, masjid ini biasanya ramai anak-anak yang sedang mengaji.

Selain itu, tersedia juga toilet umum di dekat gerbang masuk—bukan milik warga. Tempat parkir pun luas, terletak di seberang pintu masuk desa. Di samping parkiran juga ada Indomaret, jadi nggak perlu khawatir kalau butuh camilan atau keperluan lain.

Lokasinya cukup dekat dari Bandara Internasional Lombok, hanya sekitar 15 menit perjalanan dengan motor atau mobil. Tapi, pada hari-hari tertentu seperti Senin, Kamis, dan Minggu, jalanan bisa macet karena melewati pasar Sengkol. Kecuali kalau teman-teman datang dari arah Kuta Mandalika.

Kalau mau masuk ke Desa Sade, pengunjung cukup membayar uang registrasi seikhlasnya. Kalau datang dengan rombongan besar, biasanya dikenakan minimal Rp10.000. Kalau ingin tahu lebih dalam tentang sejarah desa ini, banyak kok warga yang bersedia jadi pemandu wisata (tour guide). Tapi, ya bayar ya! Tarif paling murah sekitar Rp150.000.

Desa Adat Sade juga sangat direkomendasikan untuk anak-anak sekolah yang ingin belajar sejarah. Para tour guide tidak hanya menjelaskan tentang Desa Sade, tapi juga sejarah Lombok secara umum. Di waktu-waktu tertentu seperti musim bau nyale (tradisi menangkap cacing laut), desa ini sering mengadakan pertunjukan seni peresean.

Gimana teman-teman, tertarik berkunjung ke Desa Sade? Kalau lagi ke Lombok, wajib banget mampir ke sini, ya! Aku doakan semoga teman-teman yang belum sempat ke sana, suatu saat bisa punya kesempatan.

Oh ya, aku bukan orang Sade loh—aku dari desa sebelah, Desa Ketara. Ke Sade cuma butuh waktu sekitar 10 menit. Aku bisa nulis cerita ini karena sudah beberapa kali ke sana, biasanya nemenin teman-teman dari luar kota yang datang ke Lombok. Setiap ada teman main ke sini, aku pasti rekomendasiin Sade!

Tentang Penulis:

Baiq Darmiani, biasa dipanggil Mia. Seorang gadis desa yang sekarang bekerja sebagai guru PAUD di Desa Ketara Kec. Pujut Kab. Lombok Tengah, NTB.

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling diluar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==