Oleh Qoyyimah Sofiati
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus sibuk mengejar kemajuan, sampah seringkali dipandang sebagai sisa yang tidak lagi berguna, kotor dan menjijikkan. Banyak orang yang enggan berurusan dengan sampah—dipandang sebagai sesuatu yang sudah selesai, tidak berguna, dan harus segera dibuang. Stigma ini justru dapat berdampak negatif yang membuat kurangnya kesadaran, pengabaikan, bahkan dapat menghambat pengelolaan sampah yang seharusnya berjalan efektif.
Permasalahan mengenai sampah yang mencemari lingkungan telah menjadi perhatian yang sangat serius dan mendesak. Belum lagi pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan pola hidup konsumtif tentu meningkatkan produksi sampah. Penumpukan sampah ini mengancam kehidupan bumi.
Sebagai manusia, tentunya kita harus memiliki rasa peduli pada lingkungan. Dalam hal ini sudah menjadi tanggung jawab semua orang. Apalagi jika menilik kenyataan, kita sebagai manusia adalah salah satu makhluk yang hidup dan bergantung pada alam.
Arundati Shinta: Dosen Psikologi Lingkungan
Arundati Shinta merupakan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Salah satu mata kuliah yang diajarkan adalah Psikologi Lingkungan. Ibu Shinta—begitu sapaan akrabnya—pernah mengenyam pendidikan dan meraih gelar sarjana psikologi di UGM Yogyakarta. Lalu melanjutkan studi dan meraih gelar Master of Arts dalam bidang Human Resource and Population Study di The Flinders University of South Australia. Kemudian, gelar Doktor dalam bidang Psikologi diraih dari UGM Yogyakarta.
Ibu Shinta memiliki minat salah satunya di bidang lingkungan hidup. Ibu Shinta memiliki pandangan berbeda mengenai sampah. Baginya, sampah itu perlu dimuliakan karena sampah memiliki potensi untuk tampil lebih bermakna dan bermanfaat bagi manusia. Pada tahun 2019, Ibu Shinta menerbitkan sebuah buku yang berjudul Memuliakan Sampah: Konsep dan Aplikasinya di Dunia Pendidikan dan di Masyarakat. Buku ini dapat diakses di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
Pengalaman Belajar Psikologi Lingkungan Bersama Ibu Shinta
Ketika mengajar, beliau tidak hanya sekadar teori. Tetapi, memberikan contoh. Seringkali, Ibu Shinta membawa barang yang terbuat dari limbah sampah, misalnya tas hingga kotak pensil. Salah satu momen yang membuat salah fokus saat di kelas adalah ketika Ibu Shinta tiba-tiba mengeluarkan sepatu mini model sneakers berwarna merah dari dalam tasnya yang ternyata itu adalah tempat pulpen/pensil, spidol, atau alat tulis lainnya—unik.

Pengalaman lain adalah kuliah lapangan. Ibu Shinta mengajak kami melakukan perkuliahan di luar kelas untuk pembuatan pupuk kompos dan eco enzyme. Lucunya, untuk bahan kuliah beliau memberikan kami makanan yang wajib dimakan dan dihabiskan oleh mahasiswa—seperti arem-arem dan buah semangka. Bungkus arem-arem dan sisa semangka tidak boleh dibuang, tetapi akan dijadikan bahan dalam pembuatan kompos dan eco enzyme.
Kami juga pernah diajak melakukan kunjungan ke Tempat Pengolahan Sampah (TPS) Randu Alas yang terletak di Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. TPS Randu Alas melayani sampah warga Desa Sardonoharjo dan sekitarnya dengan senang hati. Di TPS Randu Alas tidak hanya mengambil sampah tetapi juga mengolah sampah organik menjadi kompos yang dapat dijual. Untuk sampah plastik dipilah sesuai jenisnya dan dijual kepada pengepul.
Selain itu, kami pernah ditugaskan untuk membersihkan titik sampah yang terdapat di ruang publik, seperti di pinggir jalan. Ada juga kegiatan plogging—sebuah gerakan yang menggabungkan olahraga (jogging) dengan memungut sampah di lingkungan sekitar—serta kegiatan lainnya.
Selama satu semester, belajar tentang lingkungan yang dikhususkan pada sampah tentu membentuk perilaku terkhusus pada saya pribadi. Tahun 2023, saya memulai untuk melakukan hal yang sama dari perilaku-perilaku kecil yaitu memilah sampah dari kost/asrama, membawa tas belanja ketika sedang berbelanja ke pasar, dan turut serta dalam kegiatan komunitas yang peduli pada sampah dan lingkungan sekitar, seperti komunitas Trash Hero Yogyakarta yaitu komunitas yang bergerak dinamis dan dipimpin oleh sukarelawan yang mendorong dan memotivasi untuk membersihkan dan mencegah limbah plastik.

Dedikasi Ibu Shinta dalam Bidang Sampah
Ibu Shinta adalah dosen yang masih aktif mengajar. Tak seperti dosen lain, Ibu Shinta selalu meluangkan waktunya untuk mengerjakan suatu produk yang terbuat dari sampah seperti, paper bag yang dibuat dari kertas kalender, tas dari bungkus kopi, pupuk kompos, eco enzyme, kotak pensil, lampion, dan lain sebagainya. Oiya, berita terbaru pada September 2025, 3 dari 8 mahasiswa bimbingan skripsinya menjadi pemenang pada Seminar Nasional & Call For Paper 2025 yang dilaksanakan oleh Univ. Proklamasi 45 dan 2 dari 3 mahasiswanya memiliki topik penelitian tentang sampah.

Ibu Shinta juga seringkali menjadi sponsor pada kegiatan-kegiatan yang diadakan kampus, fakultas atau organisasi lainnya. Kegiatan yang baru-baru ini adalah Dies Natalis kampus di mana Ibu Shinta memberikan produk yang berisi pupuk kompos dan sabun cuci piring eco enzyme. Produk-produk dari Bu Shinta telah ber-SNI, lho. Produk karya tangan Ibu Shinta dapat dilihat pada laman instagramnya yakni @beyondwaste.id.

Selain itu, Ibu Shinta juga aktif dalam berbagai kegiatan komunitas. Beliau seringkali menjadi narasumber dalam pelatihan dan gerakan sosial yang berfokus pada pengelolaan sampah berbasis nilai. Baginya, dari latar belakang apa pun, bisa berkontribusi terhadap lingkungan. Tidak melulu harus dimulai dari pemerintah atau teknologi canggih, tetapi bisa dimulai dari rumah, dari dapur, dari tong sampah yang dimiliki.
Pembelajaran yang melekat
Dari belajar di ruang kelas, kuliah lapangan, kunjungan TPS, dan kegiatan lainnya mampu menambah pengetahuan, menumbuhkan kesadaran, serta membentuk perilaku untuk peduli sampah seperti membuang, memilah, mengelola sampah hingga bagaimana mengajak orang lain untuk peduli terhadap sampah karena sampah yang dikelola dengan baik dapat memberikan dampak baik pula.
Dari situ, bikin sadar, dunia seringkali mengukur nilai dari melakukan hal-hal besar, sedangkan Ibu Shinta menjadi pengingat bahwa nilai sejati bisa ditemukan dari hal-hal yang seringkali dianggap sepele.
Pada satu waktu, terjadi obrolan berkesan ketika saya menghampiri Ibu Shinta yang sedang membuat paper bag dari kertas kalender di dalam kelas. Saya bercerita banyak hal kepada Ibu Shinta sampai pada saya mengeluhkan sebuah kondisi di mana saya telah memilah sampah, ketika sampah diangkut oleh petugas, justru sampah yang telah dipilah tadi bercampur lagi dengan sampah jenis lain.

Ibu Shinta menjawab dengan santai “…yang terpenting adalah perilaku kita…”. Yah, Ibu Shinta secara tidak langsung mengingatkan bahwa jangan sampai kepedulian kita surut hanya karena perilaku orang lain belum sepeduli itu pada sampah.
Bagi saya, beliau bukan hanya dosen tetapi pemantik refleksi. Darinya, saya belajar bahwa lingkungan bukan hanya soal alam tapi juga karakter di mana memilah sampah adalah bentuk tanggung jawab dan mengelolanya adalah wujud penghormatan terhadap kehidupan. Konsep memuliakan sampah dari Ibu Shinta bukan sekadar slogan melainkan sebuah filosofi hidup.
Beliau mengajak mahasiswanya untuk melihat sampah sebagai sumber pembelajaran, kreativitas, perubahan, bahkan sebagai sumber penghasilan. Ibu Shinta menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan hal yang besar tetapi dari tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta dan kesadaran.




