Cerpen Sabtu: Selasaku yang Hilang Karya Kaisar Deem

Tidak ada yang benar-benar memperhatikan hari Selasa, kecuali kau tiba-tiba kehilangannya dari hidupmu dan orang lain mulai menjalaninya untukmu, dengan cara yang jauh lebih baik dari yang bisa kau bayangkan.

Saya baru menyadarinya setelah saya potong rambut.

Waktu itu hari Rabu. Saya masuk ke tempat cukur Pak Herman seperti biasa, duduk, dan berkata, “Potong seperti biasa, Pak.”

Pak Herman berhenti membersihkan alat cukurnya, menatap saya lama, dan berkata, “Lho, bukannya Bapak baru saya potong kemarin?”

Saya tertawa, mengira itu candaan. “Kemarin saya di rumah, Pak. Nonton TV sama istri saya. Nggak ke mana-mana.”

Tapi dia bersikeras. “Jam sembilan. Pelanggan pertama, lho. Pakai kemeja biru muda. Duduk di kursi ini, minta dirapikan bagian samping. Saya ingat betul, karena waktu itu Bapak bilang mau ketemu klien.”

Tapi saya tertawa saja, menyalahkan usianya. Mungkin dia sedang banyak pikiran.

“Serius nih, dipotong lagi?” Tanya Pak Herman. Saya tak menjawab, jadi dia mengikut saja.

Namun keganjilan itu tidak berhenti di sana.

Dalam perjalanan pulang, saya ditelepon oleh seseorang dari bengkel langganan saya.

“Pak, ini dari bengkel Tude Jaya. Kami hanya ingin mengingatkan, kemarin Bapak sudah ambil mobil tapi belum transfer pelunasannya ya?”

Saya mengernyit. “Kemarin? Saya tidak ke mana-mana kemarin.”

“Lho, bukannya kemarin pagi Bapak ambil sendiri mobilnya? Katanya buru-buru, jadi pelunasannya menyusul via transfer.”

Saya menepi dan membuka catatan di ponsel. Mobil istri saya memang sudah di rumah. Tapi saya tidak ingat kapan saya mengambilnya.

“Boleh tahu siapa nama staf yang serahkan mobilnya?” tanya saya.

“Mas Seto, staf kami shift siang. Tapi hari ini dia libur.”

Tapi saya tidak merasa pernah mengalami hari Selasa kemarin.

Saya bertanya pada istri. Dia menjawab sambil menyiram tanaman, “Bukannya kita berdua yang pergi pagi-pagi sekali kemarin? Terus kita pisah pakai mobil sendiri-sendiri karena katamu kau mau ketemu Pak Gunawan soal kerja sama gudang.”

“Pak Gunawan?”

“Iya. Kan kamu sendiri yang bilang kalau itu pertemuan penting. Katamu kalau kerja sama ini gagal, kamu bisa kehilangan kesempatan memperluas bisnis ke luar Jawa.”

Saya menelepon Pak Gunawan. Dia terdengar marah.

“Maaf, Pak,” katanya, “Saya tunggu dua jam kemarin. Anda tidak muncul, tidak ada kabar, dan sekarang masih bisa menelepon saya seolah tidak terjadi apa-apa?”

Saya hampir bilang, Tapi saya tidak ingat pernah janji!

Namun saya urungkan, karena saat saya membuka agenda saya, catatannya ada: Selasa, 10.00-Meeting dgn Gunawan.

Tulisan tangan saya sendiri.

Dan lebih parah lagi, beberapa email dan pesan yang saya sendiri kirim tertanggal hari Selasa. Saya membaca percakapan saya dengan klien, konfirmasi jadwal, bahkan ada foto saya sendiri sedang duduk di kafe, entah siapa yang memotretnya, tapi itu jelas saya, dan jelas hari Selasa.

Demi Tuhan, saya tidak ingat satu detik pun dari hari itu.

Jadi, saya mencoba mengulang semua yang harus saya lakukan di hari Selasa.

Sore harinya, saya ke bengkel itu, bermaksud membayar. Namun staf yang bertugas -perempuan muda bernama Rani- menolak sambil meminta maaf.

“Sudah dibayar kok, Pak. Tadi malam. Langsung tunai. Mas Seto yang terima. Dia hanya terlambat memberi tahu staf yang masuk pagi ini tentang pembayaran itu. Sekali lagi kami meminta maaf.”

Saya tercekat. “Kemarin malam? Saya ke sini?”

Rani mengangguk sambil tersenyum.

Saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya balas mengangguk pelan dan meninggalkan tempat itu tanpa peduli perempuan itu meminta maaf sekali lagi.

Waktu saya duduk kembali di mobil, saya melihat ada struk kecil di laci dashboard. Kertasnya bertuliskan:

Lunas-20.00 WIB, Selasa. Tanda tangan saya sendiri.

Saya lalu mendatangi kafe tempat saya difoto. Barista mengenali saya. “Iya, Pak. Hari Selasa kemarin duduk di pojok sana. Pakai topi abu-abu. Bapak pesan kopi hitam dan nasi goreng.”

Tapi saya tidak punya topi abu-abu.

Saya mulai merasa seperti figuran dalam hidup saya sendiri. Selasa seperti menghilang begitu saja dari pengalamanku. Malamnya saya mengalami sakit kepala hebat dan kesulitan tidur. Setelah dua hari berlalu dengan kebingungan saya sampai kepada kesimpulan bahwa ini bukan sekedar amnesia pendek atau sejenisnya. Bukan pula terkena waham atau kebingungan. Saya yakin ada sesuatu dalam hari Selasa itu yang seperti menolakku. Saya memutuskan untuk membuat perhitungan dengan hari Selasa.

Minggu berikutnya saya bangun lebih pagi. Saya menulis “INI HARI SELASA” besar-besar di kertas dan tempel di kulkas beserta daftar pekerjaan yang akan saya lakukan hari itu.

Tapi pada Rabu pagi, saya terbangun dan menyadari: saya tidak punya kenangan sama sekali tentang Selasa kemarin. Entah karena saya tidur seharian, atau saya keluar dan hidup sebagai seseorang yang lain.

Saya mulai mencurigai mungkin ada saya lain di luar sana. Lebih rajin, lebih disiplin, lebih bisa menyelesaikan tugas-tugas saya, tapi pelan-pelan, ia membuat semua kacau, dan saya yang harus membereskan sisa-sisanya. Saya mulai takut. Saya takut suatu hari nanti, bukan hanya hari Selasa yang hilang. Tapi Rabu. Kamis. Jumat. Dan ketika saya bangun suatu pagi saya telah menjadi orang yang tidak lagi punya hari-hari.

Suatu malam, saya pulang agak terlambat. Langit mendung, hujan rintik-rintik, dan saya lupa membawa payung. Biasanya, lampu ruang makan rumah saya padam sekitar pukul delapan, karena anak-anak sudah masuk kamar dan istri saya mulai menonton sinetron favoritnya. Tapi malam itu, lampu masih menyala terang, dan dari jendela depan yang mengembun, saya melihat sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang membuat keseimbangan tubuh saya goyah.

Di dalam rumah, di balik kaca jendela, duduklah seorang pria yang sangat mirip dengan saya. Dia mengenakan kemeja batik abu-abu milikku, duduk bersila di lantai, menyendok nasi untuk anak-anak saya yang tertawa ceria.

Dia bahkan mengangkat sendoknya dengan gaya khas saya yang sedikit condong, dengan tangan kiri menopang piring. Dan yang paling mengejutkan, istri saya tampak nyaman-nyaman saja, bahkan sesekali menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang biasanya dia simpan untuk momen-momen sangat langka seperti saat saya berhasil mengganti gas elpiji tanpa kebocoran.

Saya tidak masuk. Saya hanya berdiri di luar, di balik pagar, menonton dari kegelapan seperti seorang penguntit yang kedinginan.

Akhirnya lampu dimatikan. Si “saya” dari dalam itu memeluk anak-anak, mencium kening istri saya, dan mematikan lampu seperti pemilik rumah sebenarnya.

Saya baru masuk setelah semuanya benar-benar sunyi. Dan ketika saya membuka pintu pelan-pelan dan menyelinap masuk, saya tidak menemukan siapa-siapa di ruang makan. Tidak ada piring. Tidak ada batik abu-abu di gantungan. Anak-anak sudah di kamar. Istri saya tidur pulas di sofa. Seolah yang saya lihat tadi hanya khayalan.

Hari-hari berikutnya saya menjadi lebih waspada. Saya membeli kamera kecil, memasangnya di pojok rak buku dan di ruang makan. Saya mulai mencatat setiap kegiatan saya secara rinci, berharap bisa menemukan celah atau petunjuk tentang kemunculan si “saya” lain itu.

Namun semua berjalan biasa saja sampai hari Selasa berikutnya.

Saya bangun hari Rabu dengan perasaan hampa seperti biasa. Saya buka catatan, dan menemukan tulisan tangan saya.

Selasa: pergi ke bank, jemput anak, belanja sayur.

Tapi saya tidak ingat melakukan semua itu.

Ketika saya membuka rekaman kamera ruang makan, saya melihatnya.

Dia mengenakan kaus olahraga yang sudah saya buang dua tahun lalu. Dia menyuapi anak saya yang kecil, mengobrol santai dengan istri saya, lalu bahkan sempat menyapu teras sambil bersiul lagu lama Peterpan. Lebih buruk lagi, saat saya memeriksa kantong celana, ada struk belanja dari pasar yang tidak pernah saya datangi.

Saya mulai menguntiti dia. Tapi itu tidak mudah. Dia hanya muncul pada hari Selasa.

Setiap hari Selasa, hidup saya seperti terpotong. Saya tidur hari Senin, lalu bangun hari Rabu, dan sepanjang Selasa itu, dialah yang hidup sebagai saya. Saya mencoba begadang hari Senin, berharap bisa melawan transisi itu. Tapi tubuh saya ambruk pada pukul dua dini hari. Saat saya terbangun, sudah Rabu lagi.

Saya pasang alarm setiap lima menit. Saya minum kopi kental, bahkan sempat mencubit-cubit diri. Tapi tetap, Selasa menghilang. Seolah ada tombol ganti pemain yang ditekan semesta tanpa persetujuan saya.

Saya coba menyuruh teman saya, Yudi, untuk mengawasi rumah saya pada hari Selasa. Dia seorang pengangguran jadi setuju-setuju saja disuruh begitu. Tapi keesokan harinya, saat saya tanya bagaimana hasilnya, Budi menjawab, “Lho, kan kamu sendiri yang minta saya pulang karena kamu bilang sudah bisa mengurus semuanya.”

“Saya bilang begitu?”

“Iya, kamu ngasih saya kue bolu.”

Sekarang hidup saya terbelah dua. Saya yang Senin-Rabu-Kamis-dan seterusnya, dan dia yang hanya hidup pada Selasa.

Anehnya, dia tampak jauh lebih produktif. Anak-anak saya lebih dekat padanya. Istri saya lebih sering tertawa saat hari Selasa. Bahkan, pada hari Rabu lalu, saya menemukan kertas bergambar yang digambar anak saya dengan judul Ayah Selasa dan Ayah Hari Lain.

Saya bertanya, “Apa maksudnya ini?”

Anak saya menjawab polos, “Ayah kalau hari Selasa lebih lucu.”

Saya mulai merasa kalah dalam hidup saya sendiri.

Dia menyetir mobil lebih baik. Pekerjaan saya dikerjakannya tanpa cela. Dia tampaknya menyukai olahraga. Dia bahkan mulai membuang barang-barang lama saya dan menggantinya dengan yang baru. Saya yakin, sebentar lagi dia akan mencoba mengambil lebih dari sekadar hari Selasa. Dan saya hanya bisa menunggu, terbangun setiap Rabu pagi, dengan kehidupan yang makin asing dari sebelumnya. [*]

TENTANG PENULIS: Kaisar Deem. Menerbitkan buku kumpulan cerpen Jose Kecil dalam Dirimu dan Cerita-Cerita Lainnya pada tahun 2025 oleh penerbit Bara Books. Cerita-cerita pendeknya tersebar di berbagai media.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==