Tepat pada pukul dua puluh satu lebih lima menit, Wati yang berumur lima tahun telah berada di puncak bosan, hanya sendirian masak-masakan dengan mainan alat-alat dapur. Bapaknya yang sedang melamun, lalu dihampiri.
“Pak, ajarkan aku menggambar.”
Yang ditanya tersentak, rencana-rencana dalam pikirannya berantakan, bahkan rokok yang terselip di jari sampai terjatuh.
“Bawa saja ya, pensil dan buku gambar.” Puntung rokok yang tergeletak di lantai, lalu dipungutnya.
Wati tidak menuruti, hanya memandang lama-lama wajah bapaknya, Pepen.
Pepen mengulangi permintaan agar membawakan apa yang diperlukan. Tetapi, Wati tetap saja enggan. Pada akhirnya, Pepen mengalah pula, mengambil sendiri pensil dan buku gambar.
“Bapak, buatkan aku satu gambar rumah yang bagus.”
“Katanya tadi mau belajar? Berarti harus menggambar sendiri.”
“Wati tidak bisa. Hasilnya selalu jelek.”
“Bapak juga sama, gambar Bapak hasilnya tidak bagus. Ya, kamu harus mencoba dahulu, menggambar apa saja yang bisa.”
Wati mengalihkan topik percakapan. “Bapak, harusnya aku sudah sekolah di TK.”
Pepen tertegun sejenak. Kemudian, “Bapak tidak mampu menyekolahkanmu di TK.”
Kali ini Wati yang terdiam, sejenak. Wati lalu terus merajuk agar bapaknyalah yang menggambar. Pepen menjadi tidak berkutik. Dimulailah dibuat empat garis membentuk pola segi empat; tepat di atas pola itu, dibuat lagi tiga garis menjadi segitiga.
“Apa ini, Bapak?”
“Coba tebak. Tadi yang diminta, gambar apa?”
“O iya, itu bagian muka rumah. Garis-garisnya, kok tidak lurus? Bagaimana kalau memakai penggaris saja?”
“Kalau begitu, kali ini mau kan mengambil penggaris ke kamar?”
Wati rupanya tetap saja seperti tadi, tidak mau menuruti. Terpaksalah, Pepen yang mengambil, sekalian membawa penghapus, serutan, juga beberapa batang pensil warna. Pepen sudah tahu kebiasaan anaknya.
“Gambar yang tadi, dihapus saja ya. Jelek. ”
“Iya, iya.”
Gambar pun selesai.
“Ini..” Pepen menyerahkan selembar kertas hvs. Bibir Wati menjadi tersenyum, senang, gegaslah diwarnainya.
Setelah selesai, wajah Wati ceria. Pepen yang hendak melanjutkan melamun, tidak jadi karena terganggu oleh ucapan Wati, “Bapak, ini diberi nilai.”
“Cukup bagus, nilainya delapan. Sekarang tidur, ya..”
Ternyata Wati tidak puas hanya dengan satu gambar, meminta lagi untuk dibuatkan gambar-gambar yang lain. Pepen menuruti, dibuatkanlah sketsa perabotan-perabotan rumah tangga dan sketsa seluruh moda transportasi. Wati dengan senang hati kembali mewarnai.
Belum selesai semua sketsa diberi warna, Wati diajak tidur. “Nah sekarang, mewarnainya sudah dulu, tidur dulu ya, bapak juga mau istirahat. Besok bapak harus bangun pagi, tidak mau kesiangan bekerja.”
Pepen menunjuk ke kamar ke arah Nia—ibu dari Wati yang sedari tadi telah terlelap tidur. Wati pun membereskan semua alat tulis, masuk ke kamar.
Keluarga ini tinggal di kota di satu kamar di satu gang padat, permukaan gang berupa tembok beton. Dari pagi sampai malam sekitar pukul dua puluh dua, gang selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan roda dua. Malah, suara langkah kaki dari orang-orang yang lewat pun sesekali terdengar sampai ke kamar mereka—berukuran 3 meter x 3 meter.
Mereka bertiga tidur di satu kasur tanpa ranjang. Untuk memasak dipakai ruangan serba guna berukuran empat meter kali 4 meter di bagian belakang—yang juga digunakan untuk Wati sesekali belajar di lantai. Sedangkan untuk mandi cuci kakus, mereka harus ke tempat umum—belasan meter ke arah kanan depan kamar, serta mesti antre.
Malam itu Pepen tidak lama tidur karena jemari tangan mungil anaknya menyentuh keningnya, membangunkannya. Mata anaknya memang terpejam, tetapi gelisah dalam tidurnya. Entah apa yang sedang diinginkannya.
Pepen kemudian beranjak dari kasur menuju ruangan serba guna itu, bersender di tembok seperti tadi. Ditatapnya ke dalam kamar yang pintunya terbuka, pada anak tunggalnya dan istrinya. Setiap lewat pertengahan bulan—ketika uang gajinya sebagai penjaga toko alat tulis dan kantor sudah habis—sesekali tepercik pertengkaran dengan istrinya dan tidak memandang waktu.
Entahlah, Nia mendadak terbangun, lalu memandang ke arah dapur. Didekatinya lelaki yang telah enam tahun menemaninya.
“Belum tidur?”
“Tadi sudah, tapi terjaga. Bikinkan aku kopi ya?”
“Kopi sudah habis,” Nia menjawab malas.
Pepen mengurungkan niat untuk minum kopi.
“Aku sudah bosan dengan keadaan.”
“Aku yakin karena uang harian yang kuberikan untukmu selalu kurang.”
“Kau tahu. Kau mengerti.”
“Akhir-akhir ini kita bertengkar terus. Malu sama tetangga kamar.” Pepen bangkit berdiri, tergesa menuju kamar. Baginya lebih baik kembali tidur daripada meladeni bertengkar.
Nia terdiam. Matanya lantas tertuju pada kertas-kertas hvs bergambar yang berserakan. Diambilnya satu kertas bergambar rumah. Nia kagum: biarpun hasil menggambar tidak terlalu bagus, tetapi sudah bisa menunjukkan bahwa itu gambar rumah berharga tinggi.
Merasa tidak nyaman sendirian di ruang serba guna karena hanya celingak-celinguk, Nia ke kamar, rebah dekat anaknya.
Saat pukul satu pagi, sentuhan tangan Wati mengenai bibir Pepen. Pepen mencoba mengabaikannya untuk tidur kembali, namun ternyata susah. Telah berkali-kali dicoba memejamkan mata, tetap saja terjaga. Pepen pun balik lagi ke ruang serba guna, menyendiri.
Mulanya, dua tahun yang lalu Pepen menganggur, perusahaan sablon tempat bekerja gulung tikar. Pepen kemudian bekerja serabutan. Untungnya saat itu mereka bertiga masih tinggal bersama di rumah orang tua Pepen sehingga tidak ada pengeluaran lain berupa bayar kontrakan.
Lala-lah, kakak Pepen yang menjadi penyebab Pepen sekeluarga menjadi pindah ke kontrakan. Awal mulanya, Lala sering mengoceh ke Nia yang nyaris setiap saat. Apapun menjadi bahan ocehan—suka diada-adakan. Seperti, padahal lantai rumah orang tua Pepen sudah dipel, tetapi tetap saja kata Lala belum bersih. Atau, padahal halaman depan sudah disapukan menjadi bersih, tetapi kata Lala tetap saja masih kotor.
Lama-kelamaan, Nia tidak tahan dengan omongan-omongan kakak iparnya. Pada akhirnya, bersamaan dengan Pepen telah mendapatkan pekerjaan baru sebagai penjaga toko alat tulis kantor, Nia dan Pepen sepakat, memilih menyewa kamar kontrakan.
Tinggal di kamar kontrakan, nyatanya tidak menyelesaikan masalah karena uang gaji bulanan Pepen menjadi tergerus—harus membayar sewa kamar.
Pepen dan Nia berembuk. Nia ingin menjadi penjaja minuman kemasan terkenal berukuran botol kecil. Meskipun Pepen berat hati, akhirnya mau tidak mau tetap setuju.
Pepen trenyuh, saat setiap pagi hari melihat Nia mendorong roda, lalu berkeliling menjajakan. Bila sedang sepi, maka terpaksa harus berjalan lebih jauh lagi sampai ke pusat kota. Trenyuh Pepen berulang saat sore hari melihat istrinya baru pulang, baju kotor berdebu, wajah lembap bekas keringat. Meskipun begitu, ya tentulah usaha Nia bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.
Hingga tibalah pada suatu pagi, Nia sakit di kaki, terkena varices. Nia tidak bisa lagi berkeliling berjualan. Mereka kembali berkekurangan.

Nia kembali terbangun, gegas menghampiri Pepen.
“Belum tidur juga?”
“Bagaimana aku bisa tidur. Akhir-akhir ini pikiranku semakin kacau. Aku kewalahan memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
“Terus sekarang bagaimana?” Nia lalu mengambil kertas-kertas bergambarkan perabotan-perabotan rumah. Diamatinya satu per satu gambar-gambar meja-kursi tamu, lemari, kulkas, televisi, tempat tidur—yang semuanya sekarang tidak dimiliki—telah terjual saat Pepen menganggur. Semua kertas bergambar itu lalu diperlihatkan kepada Pepen.
“Kau lihat ini? Kita kini hanya punya kasur tanpa ranjang, lemari yang kita punya pun plastik. Belum lagi bayar listrik selalu tepat di akhir tenggat. Lama-lama, aku bisa pergi.”
“Kau mau ke mana? Sedangkan kakimu sakit? Sekarang maumu bagaimana?”
“Aku sudah bosan hidup seperti ini.”
“Sabarlah. Hidup itu berharga.”
Percakapan Pepen dan Nia yang cukup riuh membuat Wati terbangun. Wati tanpa tedeng aling-aling lalu meminta agar Pepen membuatkan lagi gambar-gambar.
Pepen pun mencipta sketsa-sketsa aktivitas sehari-hari keluarganya yang serba kekurangan.
*) Bandung, Desember 2024


TENTANG PENULIS: Gandi Sugandi alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Akun medsos : Facebook https://web.facebook.com/gandi.sugandi.7564 . Instagram: https://www.instagram.com/gandi.sugandi.7564/ . Alamat email : gandisugandi015@gmail.com
Buku Kumpulan cerpen yang sudah terbit: Keluarga Seni

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:



