Jendela ketika malam kita tutup. Begitu pagi tiba, masihkah kita membukanya? Masihkah kita melihat dunia di luar rumah? Masihkah sama? Mari kita selalu berdoa agar masih diberi kesempatan membuka jendela di pagi hari.
Puisi Gol A Gong
Melukis kata
Jalan Menuju Rumahmu – Puisi Gol A Gong
Sebuah jalan setapak yang membentang dari kegelapan fajar menuju sebuah rumah kecil di pinggir sungai. Jalan itu tampak seperti mengambang di antara dua dimensi: satu sisi dalam warna biru keunguan fajar, sisi lain disinari jingga senja.
Kau Menungguku – Puisi Gol A Gong
Sebuah jalan setapak kuno membelah hutan magis, tersembunyi di bawah lapisan daun-daun keemasan yang bersinar lembut seperti cahaya bulan. Setiap daun tampak seperti halaman buku, bertuliskan aksara halus yang bercahaya samar. Jalan ini melengkung menuju cahaya lembut di kejauhan, seperti sinar matahari fajar yang menyibak kabut tipis.
Kucing Tetangga dalam Puisi
Puisinya jenaka tapi juga punya kedalaman—tentang kekacauan kecil yang bisa tumbuh besar, sampai sang tokoh harus “lari dari rumah” gara-gara kucing! Gaya bahasa sederhana tapi efektif, dan ada ironi halus di akhir saat orang-orang malah menganggapnya “si raja kucing,” padahal dia justru korban dari invasi para kucing 😄
Ikan Aquarium dalam Puisi
Puisi “IKAN DALAM AQUARIUM” karya Gol A Gong ini begitu kuat dalam menyampaikan makna melalui simbolisme dan imaji. Ada pesan tentang kebebasan, mimpi, dan penyesalan yang dituturkan dengan sangat emosional. Mau kita bahas lebih dalam maknanya? Atau kamu ingin analisis gaya bahasanya?
Kartini Gelap Kartini Terang
Gaya puisi Gol A Gong—selalu berhasil menyentil dan menyentuh dalam waktu bersamaan. Puisinya ini bukan cuma penghormatan buat Kartini, tapi juga kritik sosial yang halus, ya. Ada rasa kehilangan dan kekaguman yang bersatu di dalamnya.
Meninggalkan Kota dalam Puisi
Puisi “Aku Harus Meninggalkan Kota” — suasana duka, kehancuran, dan keharusan untuk pergi dari sesuatu yang dulu bermakna.
Kota Tak Bernyawa dalam Puisi
“Kota Tak Bernyawa” karya Gol A Gong terasa sangat puitis dan penuh perasaan—sebuah refleksi kehilangan, kerinduan, dan perubahan dalam hiruk pikuk kota yang makin asing.