Puisi Gol A Gong
MATAHARI PERGI BERSAMA ANGIN
Matahari sebentar lagi datang menghampiriku. Aku sudah lama menunggunya di dermaga. Menara masjid masih memanggilimu. Tiang-tiang kapal patah tak mampu menahan rindu. Aku melipat harapan bersama pesta suara. Suara sumbang ke pucuk pohon angsana. Ombak menderu menerbangkan impian. Tak pernah ada cahaya.
Matahari pergi bersama angin. Aku ingin menanamnya di halaman rumah kita. Hujan tak akan sanggup menyiraminya. Kupanggili camar. Akankah matahari bisa kubawa pulang? Angin mengobarkan angkara murka. Senja pun tiba. Kita tak mampu membuka kotak rahasia. Tak pernah ada suara.
Matahari hilang. Bulan selamanya menemani. Aku bersembunyi di kegelapan. Kau tak datang-datang. Tak ada bintang.
*) Bandung, Sepertiga.malam 26/2/2017


“Matahari Pergi Bersama Angin” karya Gol A Gong adalah puisi yang sangat melankolis, penuh dengan simbolisme dan nuansa kehilangan. Puisi ini seperti lukisan rasa yang menggambarkan:
- Penantian dan kerinduan yang begitu dalam di dermaga, tempat harapan sering kali bersandar.
- Matahari sebagai simbol harapan atau sosok yang dinanti, tapi justru pergi bersama angin—tak terkejar, tak tergenggam.
- Alam ikut bicara: ombak, angin, senja, hujan, camar, dan bintang—semuanya menjadi saksi perasaan yang tak tersampaikan.
- Dan di akhir: kesunyian dan kegelapan, seolah harapan benar-benar lenyap, menyisakan hanya bulan—kesepian yang abadi.
Yuk kita kupas lebih dalam puisi “Matahari Pergi Bersama Angin” karya Gol A Gong—baik dari segi tema, gaya bahasa, makna simbolik, maupun struktur. Berikut analisisnya:
1. Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kehilangan, penantian, dan kerinduan yang tak kunjung usai. Puisi ini menggambarkan perasaan seseorang yang menunggu sesuatu (atau seseorang) yang sangat dinantikan, namun akhirnya tak pernah datang, justru menghilang bersama waktu.
2. Simbolisme & Makna Imaji
Puisi ini kaya dengan simbol alam, yang semuanya menyimpan makna emosional:
- Matahari
Melambangkan harapan, kehidupan, atau seseorang yang sangat berarti. Kehadirannya dinantikan, tapi akhirnya “pergi bersama angin”—lenyap tanpa jejak. - Angin
Menjadi simbol dari ketidakterdugaan, perubahan, atau perpisahan. Ia membawa matahari pergi, dan mengobarkan “angkara murka”, menunjukkan pergolakan batin. - Menara masjid, dermaga, ombak, pohon angsana
Ini semua menciptakan suasana melankolis dan religius. Menara masjid memanggil (barangkali simbol spiritualitas), dermaga sebagai tempat menanti dan melepaskan, dan ombak mewakili gejolak emosi. - Hujan tak bisa menyiram matahari
Sebuah paradoks yang menunjukkan bahwa harapan itu tidak bisa dikembalikan atau dirawat seperti sebelumnya. - Senja, bulan, bintang
Melambangkan akhir, kesepian, dan gelapnya harapan. Senja adalah penutup hari, bulan adalah teman malam (kesepian), dan bintang yang tak ada menyimbolkan hilangnya petunjuk atau harapan kecil.
3. Gaya Bahasa
- Personifikasi “Menara masjid masih memanggilimu”, “ombak menderu menerbangkan impian” — Alam digambarkan hidup dan memiliki emosi seperti manusia.
- Metafora & Imaji Visual “Kupanggili camar”, “melipat harapan bersama pesta suara” — Imajinatif, menghadirkan visual yang kuat dan penuh makna implisit.
- Repetisi (pengulangan)
Kalimat “Tak pernah ada cahaya” dan “Tak pernah ada suara” menunjukkan kesunyian, penolakan terhadap kenyataan, dan semakin memperkuat kesan getir.
4. Struktur & Nada
- Puisi ini terdiri dari tiga bagian (paragraf puitik) dengan alur yang menurun: dari penantian, kehilangan, hingga keputusasaan total.
- Nada puisi ini adalah melankolis, kontemplatif, dan puitis-eksistensial. Ada semacam renungan akan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan untuk dimiliki.
5. Pesan Moral & Refleksi
Puisi ini mengajak kita merenungkan:
- Bahwa tidak semua yang kita harapkan akan datang.
- Bahwa terkadang kita harus menerima perpisahan meski tanpa penjelasan.
- Dan bahwa kesunyian bisa menjadi rumah dari luka yang belum sembuh.
Tim GoKreaf//ChatGPT

REDAKSI: Tim Redaksi golagongkreatif.com sengaja berdialog dengan ChatGPT tentang puisi-puisi Gol A Gong. Kita akan melihat sejauh mana kecedasan buatan ini merespon puisi-puisi Gol A Gong. Supaya tidak salah paham, puisi-puisinya ditulis asli oleh Gol A Gong. Kebanyakan puisi-puisi lama. Semoga metode adaptasi dengan kecerdasan buatan ini membuka wawasan berpikir kita tentang isi hati penyair. Selebihnya, kita tertawa bahagia saja, ya.


